Jakarta Pasar keuangan global tengah dikejutkan dengan serangkaian kebijakan baru tarif impor Amerika Serikat, dibawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Trump telah menaikkan tarif impor AS terhadap China menjadi 125%. Sementara itu, Trump menurunkan tarif baru untuk impor dari sebagian besar mitra dagang AS menjadi 10% selama 90 hari untuk memungkinkan negosiasi perdagangan dengan negara-negara tersebut.
Ketidakpastian seputar kebijakan tarif impor oleh AS, serta balasan tarif dari negara-negara ekonomi utama menimbulkan berbagai sentimen ke pasar.
Indeks saham Amerika Serikat, S&P 500 pekan lalu merosot 5,97% menjadi 5.074,08, penurunan terbesar sejak Maret 2020.
Pada Jumat pekan lalu, saham Dow Jones Industrial Average juga melemah 2.231,07 poin, atau 5,5% menjadi 38.314,86, menandai penurunan terbesar sejak Juni 2020 selama pandemi Covid-19.
Adapun saham Nasdaq Composite, yang menaungi banyak perusahaan teknologi yang menjual ke China dan juga memproduksi di negara itu, anjlok 5,8% menjadi 15.587,79.
Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung anjlok 9,19% pada Selasa (8/4) ke level 5.912,06 pada sesi pembukaan dan memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt) selama 30 menit, sesuai ketentuan Bursa Efek Indonesia (BEI).
IMF Ingatkan Risiko Tarif pada Ekonomi Global
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa penerapan tarif impor yang sangat tinggi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump menimbulkan risiko yang signifikan terhadap perekonomian global.
Kami masih menilai implikasi ekonomi makro dari langkah-langkah tarif yang diumumkan, tetapi hal itu jelas merupakan risiko yang signifikan terhadap prospek global di saat pertumbuhan ekonomi sedang lesu, kata Direktur pelaksana IMF, Kristalina Georgieva.
IMF memperkirakan bahwa tarif impor hingga 50% atas impor ke AS telah menghapus triliunan dolar dari nilai perusahaan-perusahaan terbesar di dunia di tengah meningkatnya kekhawatiran akan resesi di negara tersebut.
Momentum ketidakpastian juga disertai dengan konflik di Timur Tengah yang belum menunjukkan tanda akhir.
Dalam beberapa ratus tahun, dunia telah dihantui 5 krisis perekonomian yaitu Krisis Kredit 1772, Great Depression 1929–1939, Guncangan Harga Minyak OPEC 1973, Krisis Asia 1997-1998, dan Krisis Finansial 2007–2008.
Melihat situasi perekonomian global saat ini dihantui ketidakpastian seputar tarif impor AS yang terus berubah-ubah dan meningkat, serta jatuhnya pasar saham dan konflik di Timur Tengah yang belum kunjung usai, apakah ekonomi global ada potensi menuju krisis baru?
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai bahwa sejauh ini perekonomian global belum dalam risiko mengalami hard landing (krisis).
“Tetapi (tetap) harus waspada karena kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Data masih sangat dinamis,” kata Bhima kepada www.wmhg.org di Jakarta, Kamis (9/4/2025).