Jakarta Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menolak keras dorongan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia. Traktat yang digadang oleh lembaga-lembaga anti tembakau asing tersebut dinilai tidak sesuai dengan kompleksitas kondisi sosial dan ekonomi industri hasil tembakau di Indonesia, di mana keseluruhan rantai ekosistemnya yang melibatkan lebih dari enam juta masyarakat Indonesia merupakan penggerak ekonomi nasional, mulai dari petani, manufaktur, rantai distribusi, ritel, hingga ekspor.
Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo, menekankan pentingnya membuat regulasi nasional yang lebih adil dan berimbang, terutama untuk melindungi mata pencaharian jutaan petani tembakau dan petani cengkeh serta keberlangsungan industri hasil tembakau nasional.
Sebab, saat ini mayoritas hasil produksi petani tembakau dan cengkeh diserap secara langsung oleh industri hasil tembakau, sehingga petani sangat bergantung pada keberlangsungan industri tersebut.
“Jadi, jangan ada lagi aturan yang menekan industri tembakau, seperti dorongan ratifikasi FCTC saat ini. Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dari negara-negara lain. Kita perlu aturan nasional sendiri yang lebih cocok dengan situasi khas Indonesia,” ucap Sadar dikutip Kamis (10/10/2024).
Sadar melanjutkan kebijakan yang diadopsi di Indonesia untuk industri hasil tembakau harus disesuaikan dengan situasi dan konteks yang ada di dalam negeri, di mana industri tembakau memiliki sejarah panjang dan berperan penting dalam menggerakan perekonomian, termasuk mendorong kemajuan hilirisasi dan industrialisasi bernilai tambah yang notabene salah satu program prioritas Asta Cita di pemerintahan berikutnya.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintahan baru yang akan dipimpin oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina HKTI dan mantan Ketua Umum DPN HKTI dua periode (2004-2010, 2010-2015), agar lebih memperhatikan nasib petani tembakau dan memberikan kebijakan yang lebih adil bagi para petani tembakau.
“Aturan ini tidak hanya berdampak bagi petani, konsumen itu juga berhak mendapatkan informasi yang akurat atas produk legal yang dikonsumsinya. Dengan menerapkan aturan seperti FCTC, akan ada risiko besar bagi konsumen dan negara, termasuk potensi pemalsuan produk (rokok ilegal) yang meningkat serta hilangnya pendapatan negara dari cukai,” ujarnya.