Jakarta – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali mengguncang industri di Indonesia, dengan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Yamaha Musik, dan Sanken menjadi perusahaan terbaru yang melakukan pengurangan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat, menegaskan fenomena PHK massal ini bukan terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari akumulasi kebijakan dan kondisi ekonomi yang merugikan pekerja.
PHK Massal Sudah Dimulai Sejak Pandemi
Mirah menjelaskan, proses PHK massal sudah berlangsung sejak 2020 ketika pandemi COVID-19 melanda. Saat itu, banyak perusahaan yang terpaksa menutup operasionalnya akibat turunnya permintaan dan pembatasan mobilitas masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan disahkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada tahun yang sama.
Undang-Undang tersebut itu membuat PHK pada pekerja buruh itu sangat mudah bisa dibayangkan ya, tanpa melalui proses perusahaan pengadilan gitu. PHK juga bisa dilakukan dengan alasan rugi gitu. Pegawai paginya kerja siangnya bisa di PHK, siangnya kerja malamnya bisa di PHK itu yang terjadi dampak luar biasa Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Mirah kepada Senin (3/3/2025).
Mirah menambahkan meskipun pandemi mulai mereda pada 2023, dampaknya terhadap perekonomian masih terasa hingga sekarang. Ditambah dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan kebijakan upah yang tidak seimbang dengan inflasi, daya beli masyarakat semakin melemah.