Jakarta Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Tory Damantoro, tak habis pikir dengan kecelakaan lalu lintas yang hampir setiap hari terjadi akibat kendaraan dengan muatan berlebih, atau over dimension overload (ODOL).
Menurut dia, penegakkan zero ODOL terkesan sebagai wacana belaka yang sudah disuarakan sejak bertahun-tahun silam. Namun, tak bisa diwujudkan lantaran tiap instansi kementerian terkait punya urusan masing-masing.
ODOL ini sudah berkali-kali menyebabkan kecelakaan, dan kemudian kematian, dan ini kelihatannya sudah sangat sistemik. Saling kait-mengkait semuanya. Kementeriannya sampai tidak bisa menyelesaikan, tidak bisa kolaborasi, ujar Tory saat berbincang dengan www.wmhg.org beberapa waktu lalu di Jakarta, dikutip Selasa (28/1/2025).
Adapun wacana zero ODOL sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu. Program ini sudah mulai dipersiapkan sejak 2019, melalui melalui Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 21 Tahun 2019 tentang Pengawasan terhadap Mobil Barang atas Pelanggaran Muatan Lebih (Over Loading) atau Pelanggaran Ukuran Lebih (Over Dimension).
Permintaan Menperin
Pada Januari 2020, Menteri Perhubungan (Menhub) kala itu, Budi Karya Sumadi, menyatakan tak akan menuruti permintaan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, yang ingin penerapan zero ODOL diundur.
Saya informal sudah bicara dengan Menperin, kami mungkin akan mentolerir dari segi waktu. Dia (Menperin) mintanya 2024, tapi kami mungkin akan kasih sampai 2022, kata Budi Karya Sumadi.
Pernyataan itu diberikan setelah Agus Gumiwang meminta kepada Budi Karya melalui surat, agar zero ODOL ditunda sampai 2023 atau 2025.
Agus beralasan, program itu bakal menurunkan daya saing industri. Lantaran pelaku usaha harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk menambah jumlah angkutan.
Tak hanya itu, Agus juga menyebut ada potensi kemacetan, meningkatkan konsumsi bahan bakar, menaikan emisi, menambah angka kecelakaan, hingga meninggikan biaya logistik.