Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah meneken Undang-Undang Nomor 61 tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. UU ini membuat Presiden Terpilih RI periode 2024-2029, Prabowo Subianto bebas menambah jumlah kabinet sesuai kebutuhannya.
Undang-undang (UU) ini diteken Jokowi pada 15 Oktober 2024 atas persetujuan bersama dengan DPR RI. Salah satu pasal diubah yakni, pasal 15 yang mengatur soal kewenangan Presiden menetapkan jumlah kementeriannya.
Dalam UU sebelumnya, Presiden hanya boleh membentuk maksimal 34 Kementerian. Sedangkan dalam UU baru, Presiden dapat membentuk kementerian sesuai dengan kebutuhannya dan tidak dibatasi. Isunya Prabowo akan membentuk lebih dari 40 Kementerian.
Lantas apa plus minusnya terhadap perekonomian jika jumlah Kementerian di era kepemimpinan Prabowo bertambah?
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution/ISEAI Ronny P Sasmita, mengatakan penambahan Kementerian pengaruhnya terhadap ekonomi adalah akan ada penambahan belanja pemerintah besar-besaran dari pendirian kementerian dan lembaga-lembaga baru, yang bisa menjadi input baru pada perekonomian nasional mulai tahun depan.
Bentuknya mulai dari belanja rutin dan operasional baru, sampai pada belanja modal dan belanja program-program baru, kata Ronny kepada www.wmhg.org, Kamis (17/10/2024).
Selain itu, penambahan kementerian itu akan mendorong defisit anggaran semakin membesar mulai tahun depan. Namun, bisa saja nanti batas konstitusionalnya direvisi menjadi lebih dari 3 persen.
Alhasil dengan membesarnya defisit, maka mau tak mau utang akan tumbuh lebih cepat dibanding sebelumnya. Jika penambahan utang bisa meningkatkan pertumbuhan ke level 7 persen, maka ratio utang terhadap PDB akan stagnan, atau bahkan menurun, walau nominalnya bertambah besar.
Tapi jika hanya mampu 5 persen lagi, maka ration utang terhadap PDB dalam lima tahun akan menembus batas konstitusional 60 persen, bahkan lebih besar lagi, pungkasnya.