Jakarta – Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan resmi naik menjadi 12 persen. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan ini menjadi salah satu langkah strategis pemerintah untuk memperkuat perekonomian nasional sekaligus memastikan keberlanjutan anggaran negara.
Terkait kebijakan ini, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menuturkan, Pemerintah tidak punya banyak pilihan solusi untuk mendongkrak fiskal yang buruk.
Jika kondisi tetap buruk, padahal 2025 dan 2026 kita harus refinancing utang masing-masing tahun Rp 800 triliun, maka proses refinancing akan terkendala, sulit memasarkan SBN akibat investor tidak percaya, kecuali dengan bunga yang tinggi,” kata Wijayanto kepada www.wmhg.org, Selasa,17 Desember 2024.
Wijayanto menambahkan, menaikkan PPN adalah cara termudah, karena dampaknya seketika dan penarikan dilakukan oleh pengusaha. Menurut dia, ini adalah low hanging fruit atau peluang yang mudah digapai bagi pemerintah.
Potensi tambahan penerimaan negara kenaikan akibat PPN mencapai Rp 75 triliun hingga Rp 80 triliun, biaya insentif sekitar Rp 25 triliun, masih ada net gain yang cukup tinggi untuk negara,” ujar dia.
Insentif untuk Dorong Daya Beli Masyarakat
Wijayanto menuturkan berbagai insentif yang akan diberikan pemerintah jika dijalankan sesuai rencana, dapat menopang daya beli masyarakat. Menurut dia, inflasi tidak akan melejit, karena situasi ekonomi Indonesia sedang lambat.
Wijayanto menilai kenaikan PPN 1 persen tidak terlalu berdampak pada harga. Namun, dalam konteks ini Pemerintah perlu memastikan tidak muncul perilaku aji mumpung, di mana pelaku usaha menaikkan harga tinggi, dengan memanfaatkan momentum kenaikan PPN.
Hal ini berpotensi mendongkrak inflasi dan menggerus daya beli,” ujarnya.