Jakarta Pemerintah, melalui Menteri Keuangan, telah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Dalam kebijakan ini, pemerintah menegaskan bahwa barang pangan tetap akan dikecualikan dari PPN.
Menurut Ekonom sekaligus Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, kebijakan tersebut sebenarnya bukan hal baru.
Pengecualian barang pangan dari PPN telah diatur sejak UU No. 42 Tahun 2009, jauh sebelum hadirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 2021.
Oleh karena itu, klaim pemerintah seolah-olah ini adalah kebijakan baru lebih terlihat sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik.
“Kenyataannya, kenaikan tarif PPN tetap akan diberlakukan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah,” jelas Wahyudi dalam pernyataannya di Jakarta, ditulis Selasa (17/12/2024).
Dampak Kenaikan PPN terhadap Masyarakat
Wahyudi menilai bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan tekanan ekonomi bagi masyarakat kelas bawah dan menengah.
Kenaikan PPN menjadi 12% diperkirakan akan menambah pengeluaran kelompok miskin hingga Rp101.880 per bulan, sementara kelompok kelas menengah menghadapi tambahan pengeluaran sekitar Rp354.293 per bulan.
“Kebijakan ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan. Kementerian Keuangan hari ini pandai sekali bermain kata-kata. Seolah-olah pemerintah dan DPR mendukung kebijakan progresif dengan pengecualian barang pokok dari Pajak Pertambahan Nilai. Padahal, pengecualian itu sudah ada sejak 2009. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah,” tegas Wahyudi.