Jakarta Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Sebagian besar kekhawatiran mengarah pada dampaknya terhadap biaya produksi dan daya beli. Namun, apakah benar kenaikan ini semata-mata menjadi beban bagi sektor produksi? Atau justru memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia?
Secara umum, peningkatan PPN akan berdampak pada struktur biaya produksi, terutama bagi perusahaan yang menggunakan bahan baku dengan PPN 12%. Tetapi, pemerintah juga telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi, seperti pengecualian pada sektor tertentu dan insentif bagi pelaku usaha kecil.
Dikutip dari Direktorat Jenderal Pajak, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Sektor Industri dan Padat Karya (PMK).
Stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (perubahan PP 55 Tahun 2022)
- Masa berlaku bagi WP OP UMKM yang telah menggunakan tarif PPh Final 0,5% selama 7 tahun dan berakhir pada tahun 2024, diperpanjang untuk tahun 2025.
- Bagi WP OP UMKM lainnya tetap dapat menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai PP 55/2022.
- UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban membayar PPh.
Dukungan untuk Sektor Industri dan Padat Karya (PMK)
- Pekerja sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan akan mendapat insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).
- Bantuan 50% untuk Jaminan Kecelakaan Kerja sektor padat karya selama 6 (enam) bulan yang dibayar oleh BPJSTK.
- Subsidi bunga 5% untuk pinjaman oleh perusahaan tekstil untuk revitalisasi mesin.
Insentif untuk Sektor Otomotif (PMK PPN DTP)
- Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) mendapat berbagai insentif, termasuk PPN DTP 10% untuk KBLBB, PPnBM DTP 15% untuk KBLBB impor CBU dan CKD, serta bea masuk 0% untuk KBLBB CBU.
- Kendaraan bermotor hybrid diberikan insentif berupa PPnBM DTP sebesar 3%.
Sampai saat ini, pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0.5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dari Rp4,8 miliar per tahun menjadi Rp3,6 miliar per tahun, kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti dalam keterangan tertulisnya.
Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ariyo Irhamna mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi memberikan dampak pada masyarakat kelas menengah dan bawah, terutama mereka yang mengonsumsi banyak barang dan jasa yang terkena PPN. Meski pemerintah telah menetapkan beberapa barang pokok dan jasa bebas PPN, dampak langsung terhadap masyarakat berpenghasilan rendah tetap akan terasa.
Tantangan utama adalah bagaimana insentif yang diberikan oleh pemerintah dapat diimplementasikan dengan efektif sehingga harga barang tetap terjangkau bagi masyarakat. Di lapangan, pemerintah juga harus memastikan stok barang tersedia dengan harga yang stabil. Distribusi dan pengawasan menjadi hal penting, mengingat ada beberapa oknum distributor atau retailer yang memanfaatkan situasi dengan menahan stok untuk kemudian menjualnya dengan harga lebih tinggi, kata Ariyo kepada Selasa (24/12/2024)
Ariyo meminta pemerintah untuk mengawal kebijakan ini secara ketat agar tidak semakin memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi di tengah situasi ekonomi yang sulit, termasuk maraknya PHK di berbagai sektor usaha, yang membuat kenaikan PPN ini semakin dirasakan berat oleh masyarakat kecil.
Harus ada upaya ekstra dari pemerintah untuk memastikan kebijakan ini tidak memicu lonjakan harga yang tidak terkendali, sehingga masyarakat miskin tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka tanpa beban yang lebih besar, tutur Ariyo.