Jakarta Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana meningkatkan produksi biodiesel atau bahan bakar minyak campur sawit hingga 60 persen (B60).
Merespon hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, menganggap suatu peluang besar guna mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Kendati begitu, Eddy meyakini Pemerintah tidak akan gegabah dalam menjalankan program biodiesel saat produksi sawit dalam negeri masih stagnan.
Saya sangat yakin pemerintah tidak akan gegabah mengimplementasikan B50 selama produksi masih stagnan seperti, kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2024).
Eddy menilai, jika pemerintah gegabah dalam mengimplementasikan program biodiesel, maka akan mengorbankan ekspor sawit Indonesia. Alhasil, hal itu bisa membuat jumlah devisa menurun.
Yang akan dikorbankan, betul, pasti ekspor. Yang kedua, bagaimana nanti dengan ekspor, devisa ekspor. Yang ketiga adalah siapa yang akan membiayai B50 tersebut? Kalau ekspornya kurang, misalkan B35 saat ini kan pembiayaan dari pungutan ekspor, jelasnya.
Pangkas Ekspor
Berdasarkan perhitungan Gapki, apabila B40 diimplementasikan bisa memangkas jumlah ekspor sebesar 2 juta ton. Kemudian jika B50 bisa memangkas ekspor sebesar 6 juta ton sawit.
Sekali lagi saya meyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah selama produksi tidak mencukupi. Dengan B40 saja, kalau diimplementasikan ini, ekspor kita akan turun 2 juta ton. Kemudian kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton dari rata-rata di 30 juta ton, ujar Eddy.
Lebih lanjut, Eddy juga mengingatkan agar Pemerintah memperhatikan potensi inflasi jika pasokan ekspor sawit Indonesia ke pasar dunia berkurang. Lantara, Indonesia akan terdampak imbasnya juga.
Apabila supply kita berkurang ke dunia, pasti harga juga akan naik, harga minyak nabati dunia. Ujung-ujungnya apa, nanti akan berdampak juga pada inflasi juga bagi kita dengan mahalnya nanti segala produk dari sawit, jelasnya.