Jakarta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) kembali menjadi sorotan lantaran maraknya protes dan penolakan dari berbagai pihak terdampak.
Berdasarkan hasil studi Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), kedua produk regulasi ini berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp308 triliun.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengatakan implementasi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes memiliki dampak negatif terhadap ekonomi dan penerimaan negara.
“Pemerintah perlu melihat dampak ekonominya (secara komprehensif). Ini bukan hanya (memberikan dampak bagi) industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, tembakau, cengkeh, termasuk ritel, periklanan dan lainnya yang terdampak,” ungkapnya dikutip Jumat (27/9/2024).
Berdasarkan hasil perhitungan dampak yang dilakukan oleh INDEF dengan penerapan tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan dalam radius 200 meter, serta pembatasan iklan, kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Jika ketiga skenario ini diterapkan secara bersamaan, dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB. Selain itu, penerimaan perpajakan diperkirakan menurun hingga Rp160,6 triliun yang setara dengan 7% dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi mempengaruhi sekitar 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunannya.
Senada, Pembina Industri Ahli Madya Direktorat Industri Minuman Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Nugraha Prasetya Yogie, mengatakan sebagai kementerian yang menaungi industri tembakau, selama ini Kemenperin belum pernah diikutsertakan dalam public hearing yang diinisiasi Kemenkes serta belum pernah mendapat dokumen resmi dari kementerian terkait.