Jakarta Mata uang Rupiah kembali merosot di awal tahun pada Kamis, 2 Januari 2025. Rupiah ditutup melemah 66 point terhadap Dolar AS (USD), setelah sebelumnya sempat melemah 110 point di level 16.198 dari penutupan sebelumnya di level 16.173.
“Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang 16.180-16.270,” kata Ibrahim Assuaibi, Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka dalam keterangan di Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Rupiah melemah menyusul rilis inflasi Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (2/1) yang menunjukkan indeks harga konsumen Indonesia mencapai 0,44 % (month to month/mtm) dan 1,57% (year on year/yoy) pada Desember 2024.
Angka tersebut menjadikan inflasi 2024 terendah dalam sejarah Indonesia.
Sebagai catatan, inflasi terendah yang pernah dicatat BPS sebelumnya adalah pada 2020 yakni 1,68%.
Rendahnya inflasi 2024 disebabkan sejumlah faktor, mulai dari melemahnya daya beli serta melandainya harga bahan pangan pokok setelah terbang pada 2022 dan 2023. Adapun Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia yang kembali ekspansif usai berada di zona kontraksi selama 5 bulan beruntun.
Llaporan terbaru S&P Global, Kamis (2/1) menunjukkan bahwa PMI manufaktur Indonesia menguat ke level 51,2 pada Desember 2024 dari sebelumnya terkontraksi di 49,6 pada November 2024.
Indeks kinerja manufaktur ini merupakan yang tertinggi sejak Mei 2024.
Perkembangan Kondisi Global
Sementara itu, Presiden Terpilih AS Donald Trump berencana mengenakan tarif impor tambahan pada China, yang diperkirakan akan memicu potensi perang dagang AS-China tahun ini. Selain itu, pertemuan Federal Reserve pada Desember 2024 mengisyaratkan lebih sedikit pemotongan pada tahun 2025 karena inflasi tetap menjadi perhatian utama, yang selanjutnya meredam prospek pasar Asia.
Di Asia, pasar masih memperhatikan perkembangan krisis politik di Korea Selatan setelah Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada tanggal 3 Desember, yang dengan cepat ditarik kembali karena tekanan parlemen.
Adapun aktivitas manufaktur China yang mengalami pertumbuhan lebih lemah dari yang diantisipasi pada bulan Desember, menurut data indeks manajer pembelian swasta (PMI) yang dirilis pada hari Kamis, yang menunjukkan bahwa dampak dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini memudar.