Jakarta – Pengamat ekonomi dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita menegaskan, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini tidak dapat disamakan dengan krisis moneter tahun 1998
. Meskipun ada kesamaan dalam pelemahan mata uang, faktor-faktor yang mendasarinya sangat berbeda. Apakah mirip, sebenarnya enggak mirip. Jadi ini cuma kebetulan aja mata uangnya melemah, kata Ronny kepada www.wmhg.org, dikutip Jumat (4/4/2025).
Rupiah demelemah di rentang 16.660 terhadap dolar AS pada akhir Maret 2025. Namun, seiring berjalannya waktu, rupiah pada Kamis, 27 Maret 2025 sempat mengalami penguatan menjelang libur lebaran di level Rp 16.562.
Kendati demikian, tetap saja rupiah masih melemah. Ronny pun menjelaskan, pada 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah secara drastis. Krisis ini terjadi karena cadangan devisa negara terkuras habis akibat tekanan besar terhadap rupiah.
Dengan demikian, dolar AS menjadi sangat langka di dalam negeri, sementara pemerintah dan korporasi harus tetap memenuhi kewajiban pembayaran utang luar negeri serta kebutuhan impor.
Karena reserve kita, devisa kita, itu terkuras habis karena rupiahnya melemah begitu tinggi, sehingga di dalam negeri nyaris tidak ada lagi tersisa dolar, sementara pemerintah harus impor dan para penghutang harus bayar hutang, ujarnya.
Akibatnya, pemerintah tidak memiliki pilihan selain meminjam dana dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan berbagai syarat yang cukup berat. Jadi otomatis pemerintah harus meminjam ke IMF dalam bentuk dolar agar bisa mengimpor dan bisa membayar hutang, kata Ronny.