Jakarta Puluhan asosiasi lintas sektor menyatakan sikap penolakan atas berbagai kebijakan kontroversial terkait pengaturan produk tembakau pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang menjadi aturan turunannya.
Aturan yang menjadi sorotan di antaranya zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang serta wacana standardisasi kemasan berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik. Kebijakan tersebut menimbulkan polemik dan ketidakpastian berusaha bagi para pelaku usaha di berbagai sektor.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani mengatakan berbagai tekanan regulasi industri hasil tembakau dirasa cukup memberatkan bagi multisektor yang berkaitan baik dengan pertembakauan.
Sebagai komoditas dengan kontribusi yang unggul bagi Tanah Air, APINDO menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan melihat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lainnya.
Di Indonesia, industri tembakau menyerap jutaan tenaga kerja dari petani, pekerja, pedagang dan peritel, hingga industri kreatif. Sehingga, pengambilan kebijakan di Indonesia tidak bisa hanya mengacu dari negara-negara tertentu tanpa adanya pendalaman budaya.
“Kami melihat terdapat proses yang tidak tepat dalam proses penyusunan kebijakan ini, baik PP 28/2024 maupun RPMK dikarenakan minimnya pelibatan industri. Hal ini akan memicu kontraksi berkepanjangan. Padahal seharusnya pengambil kebijakan perlu berhati-hati dalam mengeluarkan peraturan yang akan mengancam kontraksi berkepanjangan,” kata Franky melalui keterangan resminya dalam Konferensi Pers terkait PP No. 28/2024 dan RPMK di Kantor APINDO, Jakarta dikutip Kamis (12/9/2024).
Keluhan Industri
Pada kegiatan yang digelar di kantor APINDO tersebut, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengapresiasi upaya APINDO untuk menampung segala aspirasi dan merespons keluhan industri hasil tembakau dengan baik. GAPPRI menekankan industri hasil tembakau tidak hanya pelaku usaha, tetapi mata rantai ekonomi dan budaya industri hasil tembakau yang sangat besar.
“Maka wacana kebijakan kemasan polos tanpa merek bagi produk tembakau dalam RPMK akan memberikan dampak serius atas kebijakan yang makin eksesif dan mengakibatkan kontraksi dari sisi pendapatan negara juga ketenagakerjaan. Oleh karena itu, kami menyatakan dengan tegas menolak aturan tersebut,” tutur Henry.