Jakarta – Sri Lanka mencatat deflasi pertama dalam 29 tahun pada 2024. Indeks harga konsumen Kolombo menunjukkan penurunan sebesar 0,5 persen pada September 2024. Ini menandai perubahan yang signifikan, karena inflasi berada pada angka 0,5 persen hanya sebulan sebelumnya.
Deflasi terjadi ketika harga menurun seiring waktu. Terakhir kali Sri Lanka mengalami deflasi adalah pada Maret 1995, dengan tingkat negatif 0,9 persen. Demikian mengutip dari wionews.com, ditulis Kamis (3/10/2024).
Baik kategori makanan maupun non-makanan mengalami penurunan harga, dengan harga makanan turun sebesar 0,3 persen dan harga non-makanan turun sebesar 0,5 persen.
Deflasi terjadi setelah negara kepulauan itu berjuang melawan inflasi yang melonjak, yang mencapai puncaknya hampir 70 persen pada 2022. Hal ini, bersama dengan meningkatnya gagal bayar utang dan kekurangan valuta asing, menyebabkan protes yang meluas dan penggulingan Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Langkah-langkah saat ini, termasuk kebijakan moneter yang lebih ketat dan pembatasan impor, telah memainkan peran penting dalam mendinginkan inflasi. Meskipun terjadi penurunan harga, Bank Sentral Sri Lanka telah mempertahankan target inflasi sebesar 3 hingga 5 persen.
Tantangan
Sementara itu, negara tersebut telah menerapkan pengetatan fiskal untuk mengamankan dana talangan IMF sebesar USD 2,9 miliar. Meskipun upaya-upaya ini telah mengurangi inflasi, para ekonom memperingatkan deflasi, jika berkelanjutan, dapat mengakibatkan kontraksi aktivitas ekonomi.Â
Meskipun deflasi menunjukkan pelonggaran sementara tekanan harga, tantangannya sekarang adalah memastikan hal ini tidak memicu perlambatan ekonomi jangka panjang. Kembalinya deflasi juga menandakan ketidakmampuan pemerintah untuk merangsang permintaan meskipun ada reformasi.Â
Presiden yang baru terpilih Anura Kumara Dissanayake telah berjanji untuk mempertahankan langkah-langkah IMF sambil meninjau kebijakan penghematan. Namun, taktiknya perlu menyelaraskan reformasi jangka pendek Sri Lanka dengan pemulihan ekonomi jangka panjang.