Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap sinyal kuat soal kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang sedang tidak baik-baik saja.
Berdasarkan laporan dari dua raksasa keuangan dunia, J.P. Morgan dan Goldman Sachs, kemungkinan Negeri Paman Sam akan masuk ke dalam jurang resesi kini semakin besar.
J.P. Morgan, Goldman Sachs, semuanya mengatakan bahwa Amerika kemungkinan masuk ke resesi, probabilitanya sekarang naik ke 60%, dari tadinya di bawah 50%. Dengan outlook seperti itu, tidak heran maka commodity price menurun, karena nanti demand turun kalau terjadi resesi, kata Sri Mulyani dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional, di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).
Menurut Sri Mulyani, dampanya resesi membuat permintaan global melemah, dan itu artinya harga komoditas pun ikut menurun.
Ini bisa terlihat dari harga minyak mentah dunia yang kini berada di kisaran USD 64-65 per barel jauh di bawah asumsi dalam APBN yang ditetapkan sebesar USD 80 per barel.
Ringankan Subsidi Pemerintah
Kondisi ini, kata Sri Mulyani, justru bisa jadi kabar baik dalam satu sisi: beban subsidi pemerintah menjadi lebih ringan. Di sisi lain, harga komoditas lain seperti CPO (minyak kelapa sawit) justru mengalami peningkatan, memberi angin segar bagi penerimaan negara.
Kemudian, untuk tembaga (copper) pun masih cukup stabil, meski nikel mulai mengalami penurunan harga.
Moga-moga kita tetap jaga, ini juga membuat APBN kita menjadi relatively, menjadi berkurang tekanannya, meskipun nilai tukar kita agak di atas dari asumsi. Sementara CPO justru membaik, ini membuat penerimaan negara juga membaik. Copper juga masih relatif bagus, Nickel mengalami penurunan, ujarnya.
Selanjutnya, untuk batu bara harganya kini berada di bawah USD 100, hal ini menunjukkan tekanan yang cukup berat di sektor energi. Meski begitu, aktivitas manufaktur masih menunjukkan geliat positif. Ini terlihat dari PMI Manufaktur Indonesia yang tetap berada di zona ekspansi, yakni di level 52.