Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengusulkan adanya evaluasi mandatory spending 20 persen APBN untuk pendidikan. Namun, asosiasi guru menilai jika skema diubah, akan menurunkan besaran anggaran pendidikan.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan usulan 20 persen anggaran pendidikan dari pendapatan negara akan menurunkan alokasinya. Padahal, skema 20 persen dari sisi belanja seperti saat ini pun implementasinya belum maksimal.
Ide Menkeu justru akan makin memperkecil anggaran pendidikan. Sebab dalam APBN pendapatan negara lebih kecil ketimbang belanja negara. Karena APBN sering mengalami defisit. Artinya, jika ide Menkeu anggaran pendidikan 20 persen diambil dari pendapatan bukan dari belanja, pastilah anggaran pendidikan makin mengecil nominalnya, ungkap Satriwan dalam keterangan yang diterima Senin (9/8/2024).
Dia mencatat, sedikitnya ada 5 poin yang mendasari penolakan tersebut. Pertama, anggaran pendidikan harus mengikuti kewajiban konstitusional berdasarkan pasal 31 ayat 4 UUD 1945, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Dengan anggaran wajib 20 persen APBN atau setara Rp 665 triliun saja biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Angka 20 persen sifatnya sudah minimalis. Jadi mengapa mesti diakali lagi untuk dikurangi? Jelas kami menolak usulan tersebut, kata Satriwan.
Tercatat ada kenaikan anggaran setiap tahun, pada 2023, anggaran pendidikan Rp 612,2 triliun, lalu pada 2024 naik menjadi Rp 665,02 triliun, dan 2025 naik lagi menjadi Rp 722,6 triliun.
Tetapi, persoalannya bukan 20 persen, tapi bagaimana penggunaan atau realisasi anggaran dan pengelolaannya. Meskipun anggaran pendidikan selalu naik tiap tahun, tapi masalah pendidikan kita masih berkutat pada masalah yang sama, tegasnya.
Data menunjukkan, sebanyak 60,60 persen bangunan SD kondisi rusak (BPS, 2022), lulusan SMK menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran, rata-rata lama sekolah (RLS) masih relatif rendah 8,77 tahun alias bersekolah hanya setara SMP. Lalu, gaji guru honorer masih di bawah kata layak bahkan jauh di bawah upah minimum buruh, kemampuan literasi, numerasi, sains siswa kita masih sangat rendah bahkan di bawah rata-rata skor negara OECD.