Jakarta Kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sempat dikaitkan dengan aturan impor terbaru, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Namun, anggapan tersebut dinilai tidak sepenuhnya tepat.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa kondisi industri tekstil Indonesia sudah mengalami kesulitan bahkan sebelum terbitnya Permendag 8/2024.
“Yang jelas, industri tekstil dan garmen kita memang sudah sakit cukup lama,” ujar Piter dalam keterangannya, Kamis (7/11/2024).
Dia meminta agar tidak terburu-buru menilai bahwa penyebab kebangkrutan Sritex adalah Permendag 8/2024, apalagi sampai menyebut aturan tersebut sebagai faktor utama.
“Kita tidak bisa terburu-buru mengatakan bahwa ini akibat Permendag 8/2024, apalagi menyebutnya sebagai ‘monster’ dalam kebijakan ini,” kata Piter.
Menurutnya, aturan yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Zulkifli Hasan ini hanya mengatur arus impor, termasuk tekstil, untuk melindungi industri dalam negeri.
“Substansi dari Permendag ini adalah untuk mengatur dan membatasi impor agar tidak membahayakan industri dalam negeri,” jelasnya.
Tidak Terkait Langsung
Piter juga menilai ada kejanggalan dalam mengaitkan kebangkrutan Sritex dengan Permendag 8/2024 mengingat jarak antara waktu penerbitan peraturan pada Mei 2024 dan pailitnya Sritex pada Oktober 2024 terlalu singkat untuk menjadi penyebab langsung.
“Permendag Nomor 8 keluar 17 Mei 2024. Tidak mungkin Sritex kolaps hanya dalam waktu Mei hingga Oktober,” ungkap Piter. Menurutnya, kondisi Sritex sudah memburuk sebelumnya akibat salah kelola internal.