Jakarta – Pemerintah berencana kembali melakukan pengampunan pajak melalui program Tax Amnesty Jilid III. Hal ini disebut-sebut tidak adil bagi wajib pajak yang notabene masyarakat.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menerangkan ada 2 cara dalam menegakkan hukum pajak. Pertama, mengejar pengemplang pajak. Kedua, memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty.
Urgensi TA itu hanya satu, yaitu penerimaan pajak. Logika dasarnya ada pada fenomena offshore tax evasion atau pengemplangan pajak lintas negara, kata Prianto kepada Jumat (3/1/2025).
Menurutnya, cara pertama membutuhkan waktu lebih lama, meski ada aspek keadilan yang dijaga. Sementara itu, cara kedua dinilai cenderung mengabaikan asas keadilan.
Menurutnya, cara kedua dikatakan lebih sederhana. Pasalnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tinggal menetapkan tarif khusus yang lebih ringan untuk menarik minat penyetoran pajak.
Cara kedua di atas lebih sederhana karena otoritas tinggal gelar karpet merah dengan insentif bayar pajak lebih rendah dari tarif normal di UU pajak, ucapnya.
Prianto bilang, tax amnesty jadi mencirikan pemerintah yang membutuhkan dana cepat. Walaupun lebih efisien dan cepat, cara ini dinilai tak adil.
Untuk jalan pintas karena B.U CPT (butuh uang cepat). Cara kedua lebih efisien, tapi mengabaikan asas keadilan, ujar dia.
Kondisi di cara kedua memunculkan kontraproduktif di tengah masyarakat. Asas keadilan pajak terciderai, tegas Prianto.