Jakarta Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkapkan keprihatinan atas tragedi kemanusiaan yang baru-baru ini terjadi, di mana seorang ayah di Cirendeu mengakhiri hidupnya dan nyawa anak istrinya akibat tekanan ekonomi dan beban utang.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya kesadaran dan literasi keuangan dalam memanfaatkan layanan fintech lending (Pindar).
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menegaskan bahwa Pindar, yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), adalah instrumen inklusi keuangan yang aman dan bertanggung jawab. Pindar diatur secara ketat melalui regulasi OJK, termasuk pengelolaan risiko yang dirancang untuk melindungi konsumen dari potensi kerugian yang tidak terduga. Namun, layanan ini tetap membutuhkan pengguna yang bijak dan memahami risiko yang terkait.
“Pindar dirancang untuk membantu masyarakat mengakses pendanaan dengan transparansi dan akuntabilitas. Namun, tanpa literasi keuangan yang memadai dan kesadaran yang baik, layanan ini bisa disalahgunakan atau menjadi beban yang sulit dikelola,” ujar Entjik.
Tragedi seperti yang terjadi di Cirendeu menunjukkan bahwa tekanan ekonomi yang berlebihan, tanpa dukungan edukasi keuangan yang memadai, dapat memicu keputusan ekstrem. Entjik menekankan bahwa masyarakat perlu memandang pinjaman sebagai solusi yang harus dikelola secara matang, bukan jalan pintas.
“Keputusan untuk mengambil pinjaman harus diiringi dengan pemahaman tentang kemampuan membayar kembali dan perencanaan keuangan yang baik,” jelasnya.
AFPI mencatat bahwa banyak pengguna layanan Pindar sering menghadapi masalah karena mereka kurang memahami perbedaan antara kebutuhan mendesak dan keinginan konsumtif. Banyak dari mereka juga tidak melakukan perhitungan matang mengenai penghasilan dan kemampuan membayar cicilan, sehingga mengakibatkan pengelolaan pinjaman yang tidak terencana.
Selain itu, beban ekonomi yang berat sering kali memperburuk kondisi mental pengguna, sehingga mereka kesulitan mengambil keputusan yang rasional.