Jakarta Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump menunjuk Chris Wright, pendiri dan CEO grup jasa ladang minyak Liberty Energy sebagai Menteri Energi. Wright sendiri dikenal sebagai sosok yang vokal menentang adanya krisis iklim, dan mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Penunjukan itu seakan kontradiktif dengan dorongan untuk melakukan transisi energi menuju penggunaan energi baru terbarukan (EBT) atau energi hijau. Sesuai Paris Agreement 2015 untuk menggapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Kendati begitu, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid menilai, asas keberlanjutan atau sustainibility tetap harus dipegang oleh Pemerintah RI. Lantaran tidak ingin dampak buruk akibat perubahan iklim kembali terulang.
Di sisi lain, ia melihat banyak negara dunia tetap berfokus untuk mengejar energi hijau. Seperti tertuang dalam kesepakatan konferensi iklim PBB, COP29 yang menaikan tawaran pendanaan iklim global menjadi USD 300 miliar per tahun.
Malahan, kalau kita lihat, Amerika dalam COP terakhir juga mau ikut menambah dari USD 100 billion jadi USD 300 billion, ujar Arsjad dalam sesi jumpa media di Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Bahwa Amerika tidak akan ikut serta, anggaplah itu. Tapi dunia lain melakukan hal itu. Contohnya Jepang, di AZEC (Asia Zero Emission Community) pun sudah membuat komitmen USD 1 trillion, dia menambahkan.
Menurut dia, Indonesia harus punya peta jalan dengan caranya sendiri untuk bisa menggapai target bebas emisi. Bahkan menurutnya, Indonesia harus bisa mencari keuntungan dari sikap Amerika, yang bakal mendorong pemakaian energi fosil untuk menggapai ketahanan energi.
Memang yang penting ini adalah caranya, bahwa how can we do that, tiap negara berbeda-beda. Kita harus memiliki peta jalan sendiri untuk menuju yang namanya 2060 net zero emission, ungkapnya.
Jadi menurut saya we still have to go forward. Amerika silakan. Malahan kita musti tackle lagi, ada possibility apa untuk kita melakukan itu. Kita harus melihat positive side dari itu, pungkas Arsjad.