Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia dihantui dengan kondisi eksternal dimana ketidakpastian global semakin tinggi.
Pertumbuhan ekonomi yang awalnya dibidik tumbuh mencapai 5,2% dalam Undang-undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, berisiko hanya mencatat pertumbuhan 5%.
Keseluruhan tahun (2025) untuk growth (ekonomi) kita perkirakan 5%, ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (6/1/2025).
Sri Mulyani menjelaskan, melemahnya prospek ekonomi karena gejolak perekonomian global yang belum menunjukkan tanda perbaikan.
Kondisi ini salah satunya karena tensi geopolitik di Timur Tengah, hingga gejolak pasar keuangan serta turunnya harga komoditas andalan Indonesia.
Sementara itu, Inflasi tercatat di level 1,57% (year on year/yoy), jauh di bawah yang ditetapkan dalam asumsi yaitu 2,8%.
Adapun nilai tukar Rupiah yang melemah hingga melampaui kisaran 3% di 2024, mencapai Rp.15.847 per dolar AS atau lebih tinggi dari asumsi Rp15.000.
Nilai tukar terus tertekan karena berbagai faktor global termasuk policy fed fund rate penguatan dolar capital outflow mengalami defiasi dari yang kita asumsikan 15.000 per dolar AS, papar Sri Mulyani.
Sedangkan Yield Surat Berharga Negara (SBN) pada Desember 2024 mencapai 7% atau turun dari level tertinggi pada periode April dan Juni 2024 sebesar 7,2%.
Namun, Yield SBN di periode tersebut masih naik cukup tinggi dibandingkan akhir Desember 2023 sebesar 6,4%. Sri Mulyani mencatat, Indonesia Crude Price (ICP) mencapai USD 71,6 per barel, lebih rendah dari asumsi USD 82 per barel.
Harga minyak saat eskalasi geopolitik sempat mendekati USD 90, kembali terkoreksi sehingga keseluruhan tahun harga minyak di USD 71,6 per barel. Ini lebih rendah dari asumsi yang USD 82 per barel, imbuh Menkeu.
Lifting minyak 571,7 ribu BPH atau di bawah asumsi 635 ribu BPH dan lifting gas 973 ribu BSMPH yang juga di bawah asumsi 1,03 juta BSMPH.