wmhg.org – JAKARTA. Polemik mahalnya harga bahan bakar pesawat alias avtur Pertamina mencuat belakangan ini. Hal ini diungkapkan oleh Chief Executive Officer AirAsia Tony Fernandes yang menyebut harga avtur di Indonesia paling mahal se-Asia Tenggara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menampik harga avtur di Indonesia paling mahal di kawasan Asia Tenggara.
Saya akan cek di Pertamina, tapi setau saya Pertamina sudah berikan penjelasan kan tidak benar kalau dianggap avtur kita termahal di Asia, kata Bahlil setelah Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Kamis (12/9).
Sementara itu, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari mengatakan, harga avtur Pertamina kompetitif dan mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.
“Harga publikasi Avtur di Indonesia bisa dikatakan cukup kompetitif. Nilai kompetitif harga publikasi avtur milik Pertamina juga setara dan lebih rendah bila dibandingkan dengan harga publikasi per liter di negara yang memiliki kemiripan landskap geografis,” ujar Heppy dalam siaran pers, Minggu (8/9).
Heppy menjelaskan, harga avtur yang dijual Pertamina Patra Niaga pada periode 1-30 September sebesar Rp 13.211 per liter. Angka ini disebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga avtur di Singapura yang mencapai Rp 23.212 per liter pada periode yang sama.
Heppy mengatakan, harga avtur Pertamina sudah mengacu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur Yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU).
Penetapan harga avtur juga berdasarkan Mean of Plats Singapore (MOPS) yang menjadi patokan harga pasar terdekat. Harga avtur juga mempertimbangkan demand volume dari masing-masing bandara sesuai frekuensi pergerakan pesawat.
Heppy juga mengatakan, rantai pasok avtur di Indonesia lebih kompleks dibandingkan negara lain. Pertamina bertanggung jawab menyediakan avtur di 72 DPPU yang tersebar di seluruh Indonesia. Pertamina Patra Niaga yang tidak hanya berfokus melayani avtur pada bandara besar, tetapi juga termasuk bandara kecil yang secara komersial belum tentu menguntungkan.
“Rantai pasok (supply chain) Indonesia lebih kompleks dibandingkan negara lain, termasuk untuk menjaga ketahanan pasokan di 72 DPPU. Kami terus memastikan kebutuhan avtur terpenuhi di seluruh Indonesia, bahkan bandara perintis sekalipun” tutup Heppy.
Sebagai pembanding, China Aviation Oil (CAO) salah satu pemasok avtur di Singapura memberikan harga avtur sebesar SGD0,85 (Rp 10.053) per liter (kurs Rp 11.830. Malaysia melalui Petron Malaysia mematok harga avtur senilai RM2,15 – RM5,00 (Rp 7.607 – Rp 17.692) dengan asumsi kurs Rp 3.538.
Di negeri Gajah Putih, Bangkok Aviation Fuel Services (BAFS) harga avtur mencapai THB16,50 atau Rp 7.522 dengan asumsi kurs Rp 455. Adapun, rata-rata avtur di Filipina sebesar US$0,547 per liter atau Rp 8.500 per liter (kurs Rp 15.460).
Adapun, untuk mengatasi masalah avtur Kementerian ESDM akan mengevaluasi formula harga dasar avtur, menyusul laporan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menunjukkan harga avtur di Indonesia 22% – 43% lebih tinggi dibandingkan negara lain. KPPU menyoroti adanya monopoli pasokan dari Pertamina sebagai penyebab utama perbedaan harga ini.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) INACA, Bayu Sutanto mengatakan bahwa revisi harga eceran tertinggi (HET) avtur sangat penting. Menurut Bayu, HET avtur itu diatur di Permen ESDM tahun 2019 yang belum direvisi hingga saat ini.
Dalam Permen tersebut diatur formula HET avtur sesuai dengan Mean of Plats Singapore ditambah konstanta (yang lebih besar) sebesar Rp 3.581/l dan biaya perolehan, PPN dan Pph.
HET avtur diatur dalam Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2019 dengan formula yang sudah dianggap tidak relevan lagi. KPPU meminta agar konstanta dalam formula ini dikaji ulang, ujar Bayu.
Ia menekankan bahwa harga avtur, yang merupakan 40% dari biaya operasi penerbangan, mempengaruhi harga tiket secara signifikan. Pasalnya, kata dia, harga avtur RI paling mahal. Termurah pun hanya ada di Bandara Soekarno-Hatta. Sementara, di bandara lain di Indonesia harganya lebih mahal lagi.
Untuk menurunkan harga avtur, dia mengusulkan formula pembentuk harganya diubah. Misalnya mengganti acuan ICP menjadi merujuk pada formula Mean of Plats Singapore (MoPS) sebagai patokan internasional harga di kawasan. Selain itu, dia juga menyarankan adanya penghapusan iuran lainnya dalam penentuan harga avtur.
Bahan bakar ramah lingkungan
Selain itu, PT Pertamina (Persero) tengah mengkaji potensi minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) untuk bahan bakar pesawat atau bioavtur alias sustainable aviation fuel (SAF).
SVP Business Development PT Pertamina (Persero), Wisnu Medan Santoso mengungkapkan bahwa pihaknya tengah berdiskusi bersama Pertamina Patra Niaga untuk cara pengumpulan minyak jelantah akan dikumpulkan di jaringan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan melibatkan eksportir yang selama ini menjual bahan baku ke pabrik-pabrik di Singapura [Neste, produsen SAF di Singapura] yang bahan bakunya dari Indonesia untuk memproduksi biofuel mencapai 6.000 barel.
Memang yang paling ideal, karena kalau bioavtur ini tujuannya untuk ke luar negeri maka kita harus patuh (comply) dengan Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (Corsia) yang sayangnya saat ini kalau sumbernya dari palm oil kita masih belum comply, walaupun itu yang paling banyak. Hal yang berikutnya mungkin yang paling banyak adalah minyak jelantah, ujar Wisnu di Jakarta, Selasa (10/9).
Dari sisi teknologi, kata Wisnu, Pertamina siap terkait pengembangan SAF dengan salah satunya memungkinkan minyak jelantah dikembangkan menjadi bioavtur.
Sebenarnya kalau dari sisi teknologi kita sudah siap. Teman-teman riset kita itu bahkan cukup yakin kalau secara technology wise katalisnya tidak kalah dengan pihak lain dan sebagainya. Itu murni hanya soal feedstock saja. Kalau kita mendapatkan continuity feedstock-nya cukup meyakinkan, saya rasa kita sudah siap, tandasnya.