wmhg.org – Industri perbankan Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan kenaikan kredit macet. Berdasarkan data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rasio Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah perbankan mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada semester pertama tahun 2024.
Kenaikan NPL ini terjadi paling banyak di segmen UMKM yang mendapat fasilitas pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR), dimana rata-rata nasabahnya adalah kelas menengah bawah alias wong cilik.
Rasio NPL segmen UMKM meningkat cukup tinggi dibandingkan dengan akhir tahun lalu. Pada Mei 2024, rasio NPL kredit UMKM mencapai 4,27%, sedangkan Desember 2023 sebesar 3,71%.
Sementara NPL usaha menengah berada di level tertinggi 5,51% per April 2024, disusul oleh NPL usaha kecil di level 4,96%, dan NPL Usaha Kecil di level 3,14%.
Tingginya NPL tersebut tampaknya ikut menjadi salah satu alasan lemahnya pertumbuhan kredit di sektor UMKM. Mengutip data OJK, pertumbuhan kredit UMKM pada April 2024 hanya berada di angka 7,30% atau jauh dibawah kredit korporasi (18,45%) dan konsumsi (10,34%).
Lonjakan kredit macet ini terjadi karena pemberian program restrukturisasi kredit yang diberikan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka membantu debitur terdampak pandemi Covid-19 telah resmi berakhir pada Maret 2024. Disisi lain para pelaku UMKM belum sepenuhnya pulih 100% pasca pandemi.
Kini pemerintah mulai \’mengakali\’ tingginya kredit macet ini dengan melakukan hapus tagih kredit macet. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Edina Rae mengatakan kebijakan hapus tagih telah disusun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang rencananya akan berlaku untuk BUMN berbentuk bank dan lembaga non bank.
“Debitur hapus tagih diatur memiliki kriteria tertentu sehingga tidak seluruh kredit yang telah dihapus buku bank akan dihapus tagih,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Senin (12/8/2024).
Adapun, kredit yang dihapus tagih merupakan kredit yang telah dihapusbukukan dari neraca bank dan telah dibentuk cadangan kerugian penurunan nilai 100%, sehingga telah dibiayakan sebelumnya.
Dalam RPP diatur pula bahwa atas transaksi hapus tagih tidak termasuk dalam kerugian negara.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) Sunarso harap-harap cemas dengan adanya RPP itu, dia bilang Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) khawatir akan moral hazard dari peraturan tersebut.
Tapi di dalam PP ini yang harus diperhatikan adalah bahwa tetap saja Himbara ini ketakutan kalau itu masih tidak clear, kalau itu [aset kredit] masih aset negara karena ini kan merugikan negara, kata Sunarso saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (21/3/2024).
Ia bercerita bahwa banyak nasabah dengan kredit kolektabilitas lancar minta dimacetkan agar kemudian dapat dihapus buku. Menurut Sunarso, hal itu adalah moral hazard yang harus diwaspadai.
Karena banyak nasabah lancar minta dimacetkan terus habis itu dihapus buku. Bubar ini bank himbara ini. Nggak bisa setor dividen. Ini yang paling penting. Ini moral hazard yang harus diwaspadai, katanya.
Sunarso mengatakan bahwa dalam praktiknya, menghapus buku kredit UMKM juga tidak mudah. Akan tetapi pihaknya siap melaksanakan kewenangan manajemen yang sudah diputuskan.