wmhg.org – Guru Besar FEB UGM, Wihana Kirana Jaya, menyatakan bahwa industri pupuk perlu bertransformasi menjadi industri hijau dengan memproduksi green urea. Ini sesuai dengan komitmen global untuk beralih ke energi bersih, sebagaimana tercantum dalam NDC (Nationally Determined Contributions) yang telah disepakati oleh masing-masing negara.
Industri pupuk di Indonesia, dengan BUMN PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai pemimpin pasar, seharusnya sudah menyusun strategi dan rencana transformasi menuju industri green urea. Namun, proses ini tidaklah mudah, kata Wihana ditulis Rabu (21/8/2024).
Ia menguraikan langkah-langkah untuk mempercepat transformasi tersebut. Pertama, untuk mencapai keberlanjutan penuh, diperlukan bahan baku green hydrogen yang memerlukan teknologi mahal dan investasi besar, terutama untuk reaktor elektrolisis dan peralatan untuk menangkap dan menyimpan CO2.
Kedua, beberapa pabrik pupuk urea/amonia di Indonesia, termasuk milik Pupuk Indonesia, masih memiliki umur teknis yang panjang. Penutupan lebih awal dapat mengakibatkan kerugian investasi.
Misalnya, Pupuk Kaltim, anak perusahaan Pupuk Indonesia, memiliki lima unit pabrik urea besar dan akan membangun pabrik baru di Fakfak, Papua Barat, yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pabrik ini direncanakan untuk memproduksi 1,15 juta ton urea dan 825 ribu ton amonia per tahun untuk mendukung pertanian modern di Papua serta memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor.
Pabrik Unit 1 dan 2 yang beroperasi sejak 1984 mungkin sudah tidak ekonomis lagi dan perlu diganti dengan pabrik baru yang memproduksi green urea. Pabrik Unit 3 dan 4 juga akan digantikan pada tahap berikutnya.
Sementara itu, Pabrik 5 yang masih relatif baru (beroperasi sejak 2015) akan dilengkapi dengan peralatan CCS (carbon capture and storage) untuk produksi urea rendah karbon.
Wihana menekankan pentingnya transisi industri pupuk untuk mendukung energi bersih dan mitigasi perubahan iklim, mengingat CO2 merupakan salah satu gas rumah kaca yang harus dibatasi. Namun, industri pupuk nitrogen memerlukan CO2 sebagai bahan baku.
Perubahan iklim menyebabkan pasar pupuk nitrogen/urea global berada pada dua arah berlawanan. Di satu sisi, risiko ketidakamanan pangan dan situasi geopolitik mendorong permintaan global akan (grey) urea.
Di sisi lain, gerakan ekonomi hijau dan agenda 2030 mendorong peralihan ke pupuk organik/biofertilizer serta green ammonia/green urea berbasis green hydrogen yang lebih berkelanjutan.
Panjang jangka waktu dampak lingkungan dari pupuk kimia sering menjadi alasan untuk beralih ke green urea dan pupuk organik. Wihana mengingatkan bahwa green hydrogen akan menjadi faktor penting dalam pengembangan sektor energi, transportasi, dan industri, termasuk otomotif dan pupuk berbasis green hydrogen.
Tidak ada negara yang tidak menggunakan pupuk urea, terutama karena perubahan iklim yang meningkatkan risiko bencana dan gagal panen.
Menurut International Fertilizer Association, konsumsi pupuk global pada 2023 mencapai 192,5 juta metrik ton, naik empat persen dari 2022, setelah penurunan harga pupuk global pasca lonjakan harga pada 2022. Sebelum pandemi, konsumsi global adalah 192,8 juta metrik ton pada 2019 dan 200,2 juta metrik ton pada 2020.
Ada kemungkinan oversupply pupuk urea di pasar global pada 2025 karena beberapa faktor, termasuk rencana India untuk swasembada pupuk dan menghentikan impor mulai 2025, serta adanya pabrik-pabrik baru di AS, Australia, dan Rusia.
Potensi oversupply ini dapat menekan harga pupuk internasional, yang diperkirakan turun pada 2023 dan 2024 setelah kenaikan harga pada 2022.