wmhg.org – JAKARTA. Dinamika harga minyak amat dipengaruhi oleh konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang terbuka antara Iran dan Israel akan berdampak pada harga minyak yang naik sehingga subsidi energi Indonesia bisa membengkak mencapai Rp 600 triliun.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ketegangan di wilayah Timur Tengah dengan adanya perang terbuka antara Iran dan Israel bisa mendongkrak harga minyak sebesar US$ 60. Sebab, Iran menguasai Selat Hormuz yang memegang peran penting dalam perdagangan. Selat Hormuz ini berpengaruh terhadap 40%-50% perdagangan minyak global.
Untuk diketahui, harga minyak dunia saat ini berada di kisaran US$ 72 per barel untuk minyak mentah berjangka Brent. Dengan demikian, apabila terjadi peningkatan harga hingga US$ 60, maka harga minyak mentah bisa tembus ke posisi US$ 132 per barel.
Itu hanya kenaikannya saja. Jadi, kalau harga minyak saat itu katakanlah US$ 60 begitu, itu bisa menjadi US$ 120. Padahal saat itu sudah US$ 85, ditambah US$ 60 berarti lebih besar lagi. Nah sementara bagi kita, kita ini sudah dalam posisi net importer, artinya menjadi price taker, ungkap Komaidi di Jakarta, Selasa (10/9).
Menurut Komaidi, Indonesia sebagai price taker tidak bisa menghindari harga minyak yang melonjak akibat perang Iran dan Israel lantaran tidak memiliki kontrol sama sekali.
Di pasar minyak dunia, itu volume per harinya itu mendekati 95 juta barel. Indonesia itu konsumsinya 1,5 juta barel. Jadi kita itu hanya sebagian kecil dari konsumsi global. Artinya apa? Kita itu tidak punya daya sama sekali untuk bisa mengontrol harga, tutur Komaidi.
Komaidi menuturkan, masalahnya adalah ketika harga minyak itu meningkat akan berdampak pada APBN.
Jadi setiap naik 1 dolar, belanja negara akan naik sekitar 10 triliun. Tadi kalau perang terbuka kan US$ 60 dolar. US$ 60 kalau satunya US$ 10, US$ 60 dolar x US$ 10 maka akan Rp 600 triliun peningkatannya. Setara dengan mandatory untuk pendidikan kita, sambungnya.
Komaidi menambahkan, perang terbuka Iran-Israel berisiko besar pada APBN yang harus ditanggung untuk menambah subsidi yang besarannya sekitar Rp 600 triliun.