Jakarta – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memenangkan gugatan di Supreme Court of Mauritius. LPS berkomitmen penyitaan dan pengembalian Aset Bank Century akan terus dikejar.
Supreme Court of Mauritius / Pengadilan Mauritius mengabulkan tuntutan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mantan pimpinan LPS yaitu Kartiko Wirjoatmojo dan Fauzi Ichsan dikeluarkan dari perkara.
Sebelumnya, pada 2017, LPS dan mantan pimpinannya digugat di Pengadilan Mauritius oleh para Penggugat, antara lain oleh First Global Funds Limited PCC (FGFL), Weston International Asset Recovery Company Limited (WIARCO), Weston Capital Advisor, Inc (WCAI), Weston International Asset Recovery Corporation Inc (WIARCI) dan Weston Capital Advisor, Inc (WICL).
Substansi gugatan adalah terkait dengan Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dimiliki oleh salah satu penggugat yang dahulu diterbitkan oleh Bank Century (sekarang Bank Jtrust Indonesia). Para Penggugat mendalilkan, berdasarkan MCB tersebut, para Penggugat haruslah menjadi pemenang dari lelang saham LPS pada bank Mutiara ketika diselamatkan oleh LPS beberapa tahun lalu.
Secara keseluruhan, Para Penggugat mengajukan tuntutan sebesar USD 408 juta atau kurang lebih setara dengan Rp6,648 triliun. Para Penggugat juga mengajukan permohonan Mareva Injunction atau permohonan sita atas segala aset milik Para Tergugat senilai USD400 juta.
“Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, akhirnya dalam persidangan tanggal 19 Juni 2024 yang lalu, Pengadilan Mauritius telah mengabulkan tuntutan agar LPS dan mantan pimpinannya dikeluarkan dari perkara,” kaya Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa di acara Temu Media, di Jakarta Rabu (31/7/2024).
Mengenai proses gugatan tersebut, bahwasanya sejak awal LPS telah langsung mengajukan upaya dan langkah hukum pembelaan, antara lain pengajuan Surat keberatan yang memuat antara lain mengenai penetapan pengadilan yang telah mengizinkan untuk memanggil para pihak yang berada di luar Mauritius.
“Karena pengadilan di Mauritius sejatinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara, serta pemanggilan para pihak di Indonesia tidak dilakukan secara patut dan sah karena tidak mengindahkan prinsip kedaulatan hukum Indonesia,” ujar Purbaya.