wmhg.org – JAKARTA. Jam baru menunjukan pukul 10.00 pagi, tapi Hendra (36) sudah pasang wajah lelah dengan pertanyaan calon-calon konsumen yang masih mencari-mencari gas melon atau gas LPG 3 kg ke warungnya.
Bukannya tidak bersyukur. Dibandingkan tenaga yang dikeluarkan untuk melayani para konsumen, Hendra jadi lebih repot menjelaskan kondisi warung yang belum kunjung juga dikirimi pasokan gas LPG 3 kg dari pangkalan. Ia Sudah cukup malas sekedar menjawab pertanyaan mengenai harga LPG yang tak kunjung turun.
Hendra setuju-setuju saja kalau disebut sebagai pengecer. Aslinya Hendra juga tidak terlalu paham mengenai sub pangkalan. Apapun itu, asalkan tidak ada tetek bengek terkaiat biaya, dia ikut saja.
Sub pangkalan dengar di berita saja, tapi disini pengecer sih, kata Hendra saat saya temui, di warungnya yang terletak di jalan Kalipasir, Jakarta Pusat, Kamis (06/02).
Waktu ribut-ribut kelangkaan LPG 3 kg itu, Hendra bilang, memang terdapat keterlambatan pasokan dari pangkalan, sampai sekarang pun masih. Biasanya LPG diantarkan 2-3 kali sehari ke warungnya, namun sekarang hanya 1 kali dengan jatah 10-15 tabung perhari. Kemarin lebih parah, 3 hari sekali, atau 5 hari, katanya.
Hukum ekonomi pun berlaku. Hendra terpaksa menjual gas LPG 3 kg seharga Rp 21.000, bahkan sempat Rp 22.000. Namun ia tidak punya pilihan karena harga dari pangkalan juga sudah tinggi.
Belum turun mbak, dari sananya (pangkalan) juga naik, katanya.
Kebijakan Bahlil akan menyusahkan bagi konsumen, yang kebanyakan rakyat miskin, untuk membeli kebutuhan LPG 3 kg di pangkalan yang jauh dari tempat tinggalnya.
Bahlil beralasan, kebijakan ini dibuat karena banyak pengecer 'nakal' yang menjual gas jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) daerah yang sudah ditentukan. Di lapangan, Bahlil bahkan bilang menemukan LPG 3 kg dijual dengan harga Rp26.000, padahal HET Jakarta ada di angka Rp16.000 untuk harga pangkalan.
Itu (harga LPG) Rp 26.000, kan kamu tau sendiri harganya ada yang Rp 26.000. Sebenarnya rakyat itu mendapatkan harga LPG harusnya maksimal Rp 19.000. Udah paling mahal itu, ungkap Bahlil usai melakukan sidak LPG 3 kg disejumlah pangkalan di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (4/2).
Meski begitu, pengamat sekaligus kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan alasan Bahlil cukup bisa diterima tapi tidak dengan langkah ekstrem yang diambilnya.
Harusnya ada tahap implementasi, kalau tahap peralihan diberikan secara ekstrim, tidak ada transisi, pasti akan memunculkan kelangkaan, katanya saat dihubungi Kontan, Rabu (5/2).
Lalu, ketika sudah ada ribut-ribut di kalangan lapisan bawah, Bahlil 'disentil' oleh DPR. Pada rapat kerja yang berlangsung pada Senin (3/2), Bahlil dihujani banyak pertanyaan terkait kelangkaan LPG, padahal agenda rapat kali itu adalah membahas soal Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Dalam kesempatan itu, akhirnya tercetuslah ide untuk menaikkan status pengecer gas LPG 3 kg menjadi sub pangkalan.
Ide ini kalau dilihat dari sisi hukum, menurut Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (PUSKEPI) Sofyano Zakaria, memang didukung dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 yang mengatur tentang penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tabung 3 Kilogram.
Serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 28 Tahun 2008 soal peraturan tentang harga jual eceran LPG tabung 3 kilogram untuk keperluan rumah tangga dan usaha mikro.
Sebab, kata Sofyano, dalam dua peraturan ini tidak disebutkan soal posisi pengecer sebagai salah satu mata rantai distribusi LPG yang sah.
Pengecer LPG 3 Kg pada dasarnya terbilang Ilegal karena tidak masuk dalam mata rantai distribusi yang sah secara hukum, katanya, Kamis (06/02).
Pengangkatan pengecer sebagai sub pangkalan LPG 3 Kg tambah dia, pada dasarnya memberi kejelasan status hukum kepada pengecer itu sendiri.
Gerak cepat aparat keamanan dalam hal ini kepolisian juga dinantikan, karena perlu adanya sanksi tegas bagi oknum distributor yang terbukti melakukan malpraktik distribusi atau bahkan melakukan pengoplosan.
Kepolisian harus lebih bergigi untuk melakukan law enforcemen, tambahnya.
Sebagai pemilik barang, Tulus juga mengatakan, PT Pertamina harus tegas untuk memutus kerjasama dengan distributor nakal. Tanpa hal itu maka penyimpangan distribusi dan pelanggaran hak-hak konsumen menengah akan semakin besar.
Mendapatkan gas LPG dengan harga terjangkau adalah hak konsumen yang harus dijamin keberadaannya, ungkapnya.
Terakhir, Bahlil mengatakan terdapat total 370.000 pengecer yang tersebar di Indonesia, yang secar otomatis naik statusnya menjadi sub pangkalan. Dengan ini, para pengecer bisa secara otomatis menjual kembali LPG 3 kg.
Sayangnya, kekeliruan langkah ini masih menimbulkan bekas. Yang pertama, ritme distribusi LPG belum kembali seperti semula. Kedua, harga yang belum kembali normal. Masyarakat masih menunggu keefektifan skema sub pangkalan dan janji dari pemerintah untuk mengembalikan keadaan pasar seperti semula.
Seperti dikatakan Didi, sang penjual ketoprak, Kalau harga sudah naik, pasti susah turun.