wmhg.org – JAKARTA. Morgan Stanley Capital International (MSCI) melakukan evaluasi untuk indeks saham Global Standard Index, Small Cap Index dan Micro Cap Index. Dalam rebalancing kali ini, ada tiga saham di Bursa Efek Indonesia yang mengalami rotasi.
Saham PT Avia Avian Tbk (AVIA) masuk ke dalam indeks MSCI Indonesia Small Cap. Sementara, saham PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS) dan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) keluar dari indeks tersebut.
Rebalancing ini akan berlaku pada penutupan perdagangan 25 November 2024, atau berlaku efektif per 26 November 2024. Dalam evaluasi kali ini, perubahan hanya terjadi pada MSCI Indonesia Small Cap.
Sedangkan, MSCI Indonesia Global Standard dan Micro Cap tidak mengalami perubahan dari emiten yang keluar dan masuk. Evaluasi indeks MSCI berikutnya akan dilakukan pada Februari 2025. Tanggal pengumuman dijadwalkan pada 11 Februari dan tanggal efektif pada 3 Maret 2025.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat, faktor likuiditas yang naik dan kinerja fundamental perseroan yang membaik bisa membuat suatu saham ditarik masuk ke indeks MSCI.
“Masuknya emiten ke MSCI juga akan berdampak positif ke pergerakan sahamnya. Karena, banyak investor institusi, terutama asing, yang akan beli saat masuk indeks dan menjual saham emiten tersebut saat dikeluarkan,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (7/11).
Melansir RTI, saham AVIA naik 4,34% pada perdagangan Kamis (7/11) ke Rp 505 per saham. Meskipun keluar dari indeks MSCI, saham SCMA berhasil naik 1,59% pada perdagangan Kamis (7/11) ke Rp 128 per saham.
Sementara, saham BTPS mengalami penurunan 2,86% pada perdagangan Kamis (7/11) ke Rp 1.020 per saham.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat, rebalancing indeks MSCI Indonesia Small Cap kali ini membawa perubahan signifikan dengan masuknya PT Avia Avian Tbk (AVIA) dan keluarnya PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS) serta PT Surya Citra Media Tbk (SCMA).
Sentimen dari rebalancing ini cukup berpengaruh, terutama karena perubahan komposisi indeks MSCI sering kali menarik perhatian investor asing.
Masuknya AVIA dalam indeks dapat memberikan dorongan positif jangka pendek, karena saham yang masuk MSCI seringkali menjadi target investasi dana asing yang mengikuti indeks tersebut.
“Sebaliknya, keluarnya BTPS dan SCMA dari MSCI bisa menciptakan tekanan jual jangka pendek karena investor yang berorientasi pada indeks mungkin mengurangi kepemilikan mereka,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (7/11).
Dampak dari evaluasi indeks terhadap kinerja keuangan emiten sebenarnya lebih terbatas, namun terhadap kinerja saham bisa cukup terlihat.
AVIA, yang kini masuk dalam MSCI Indonesia Small Cap, berpotensi mendapatkan arus modal asing yang lebih besar, yang bisa mendorong harga sahamnya.
Sementara itu, BTPS dan SCMA mungkin akan mengalami sedikit tekanan dari sisi likuiditas saham. Meskipun kinerja keuangan emiten ini tetap akan bergantung pada fundamental bisnis masing-masing.
Melihat prospek ke depan, kinerja AVIA, BTPS, dan SCMA di kuartal IV dan tahun 2025 berpotensi tumbuh, namun juga menghadapi tantangan.
Untuk AVIA, potensi kenaikan kinerja bisa didorong oleh peningkatan permintaan cat dan produk terkait konstruksi, terutama jika sektor properti terus tumbuh.
“Tantangan bagi AVIA mungkin berasal dari fluktuasi harga bahan baku dan kondisi makroekonomi yang dapat mempengaruhi daya beli,” paparnya.
Untuk BTPS, meskipun keluar dari MSCI, masih memiliki prospek positif di sektor perbankan syariah, dengan potensi peningkatan inklusi keuangan syariah di Indonesia.
Namun, potensi suku bunga yang tidak mengalami penurunan dalam jangka waktu dekat atau kebijakan makro yang ketat dapat menjadi tantangan.
Di sisi lain, SCMA menghadapi persaingan ketat di industri media. Kinerja SCMA bisa terdorong oleh peningkatan belanja iklan, namun tergantung juga pada inovasi konten digital yang dihadirkan perusahaan.
Hendra pun merekomendasikan beli untuk AVIA dengan target harga Rp 570 per saham. Sentimennya adalah masuknya saham produsen emiten cat Avian ini ke indeks MSCI mampu menarik arus modal asing.
BTPS juga menarik untuk dibeli saat mengalami koreksi hingga level Rp 1.000 per saham, dengan target harga di Rp 1.100 per saham.
“Ini mengingat potensi pertumbuhan di sektor perbankan syariah,” tuturnya.
Sedangkan, meskipun sudah keluar dari indeks MSCI, SCMA masih menarik untuk dibeli dengan target harga Rp 150 per saham, lantaran prospek kenaikan iklan dan konten digital yang kuat.