wmhg.org – JAKARTA. Beberapa grup usaha mencatatkan nilai transaksi saham terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun nilai transaksi saja tidak cukup untuk mencerminkan kinerjanya. Faktor pemilik juga turut menentukan.
Per 29 Agustus 2024, Grup BUMN yang terdiri dari 36 emiten mencatatkan nilai transaksi Rp 2,9 triliun. Di tempat kedua, ada Grup Barito dengan 5 emiten yang mencatatkan nilai transaksi Rp 2,5 triliun.
Lalu, Grup Djarum (6 emiten) nilai transaksinya Rp 566,6 miliar, Grup Salim (14 emiten) Rp 527,2 miliar, Grup Saratoga/Adaro (11 emiten) Rp 518,1 miliar, dan Grup Astra (6 emiten) Rp 337,2 miliar.
Secara rata-rata transaksi saham per emiten pada 29 Agustus 2024, Grup Barito mencatatkan nilai transaksi rata-rata per emiten terbesar, yaitu Rp 505,28 miliar per emiten.
Lalu, Grup Djarum mencatatkan nilai transaksi rata-rata Rp 94,4 miliar per emiten, Grup BUMN Rp 81 miliar per emiten, Grup Astra Rp 56,2 miliar per emiten, dan Grup Saratoga/Adaro Rp 47,1 miliar per emiten.
Head of Research Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan melihat, likuiditas atau nilai transaksi saham memang dapat menjadi salah satu indikator yang mencerminkan kinerja keuangan dari perusahaan, dalam hal ini konglomerasi, yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Akan tetapi, nilai transaksi bukan merupakan satu-satunya indikator pengukur kinerja. Nilai transaksi saja tidak cukup mencerminkan kinerja mereka,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (30/8).
Sentimen penggerak nilai transaksi grup konglomerasi tersebut terutama disebabkan oleh ekspektasi positif terhadap kinerja keuangan para emiten, khususnya pada Grup BUMN yang ditopang oleh saham bank.
Perkembangan pembangunan proyek IKN juga menjadi salah satu sentimen penggerak nilai transaksi emiten Grup BUMN. Mengingat emiten BUMN Karya mendapatkan nilai kontrak jumbo untuk proyek pembangunan IKN.
“Lalu, bidang usaha energi baru terbarukan (EBT) saat ini juga menjadi salah satu tujuan investasi, khususnya bagi investor asing,” paparnya.
Terkait rotasi grup konglomerasi yang merajai nilai transaksi saham di bursa, faktor yang memengaruhi terutama adalah kinerja keuangan dan minat investor terhadap bidang usaha mereka.
Selama investor masih minat dengan sektor usaha emiten Grup Barito, ada kemungkinan grup tersebut masih akan merajai nilai transaksi di bursa.
Di sisi lain, Grup BUMN masih akan mendominasi dengan sektor perbankan. Kinerjanya kemungkinan masih akan ditransaksikan dengan nilai jumbo.
Hal yang sama juga terjadi padaGrup Djarum yang ditopang dari kinerja PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
“Grup Saratoga juga masih akan besar melalui kinerja PT Merdeka Battery Minerals Tbk (MBMA) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA),” tuturnya.
Untuk sektor perbankan, ada sentimen potensi kinerja fundamental yang solid dan pelonggaran kebijakan moneter. Emiten perbankan BUMN berpotensi tetap menjadi penggerak kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai akhir tahun 2024.
Kemudian sektor BUMN Karya, sentimen positifnya berasal dari dilanjutkannya proyek IKN, kelanjutan proses divestasi, dan potensi perolehan penyertaan modal negara (PMN) tahun 2025.
Sedangkan sektor pertambangan, khususnya nikel, ada sentimen positif dari peluang perbaikan permintaan seiring dengan pemulihan aktivitas manufaktur global akibat pemangkasan suku bunga acuan sejumlah bank sentral besar.
Valdy pun merekomendasikan Beli untuk BBRI, MBMA, dan INDF dengan target harga masing-masing Rp 6.165 per saham, Rp 760 per saham, dan Rp 7.842 per saham. Rekomendasi hold diberikan untuk BBCA dengan target Rp 10.950 per saham.
Agak sedikit berbeda, meski mengakui nilai transaksi saham biasanya memang dipengaruhi oleh pandangan investor terkait kinerja sang emiten, pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai hal itu tak terjadi pada pergerakan saham emiten Grup Barito milik Prajogo Pangestu.
Harga dan valuasi saham Grup Barito tidak
murah. Mengalirnya dana asing ke emiten-emiten grup ini dipengaruhi oleh keberhasilan mereka masuk ke indeks global.
Melansir RTI, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) berada di urutan keempat tertinggi yang dibeli asing hari ini (30/8), yaitu sebesar Rp 124,6 miliar.
Selain itu, ada faktor kepercayaan dari para investor ritel terhadap sosok Prajogo Pangestu sebagai pemegang saham pengendali.
“Tanpa dua faktor itu, saham-saham emiten Grup Barito mungkin lebih cenderung bakal turun daripada naik,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (30/8).
Meskipun begitu, investor ritel tetap akan mempertimbangkan faktor pertumbuhan kinerja perusahaan di masa mendatang. Minat transaksi saham emiten dari grup konglomerasi juga akan berubah-ubah sejalan dengan kinerja mereka.
Misalnya rotasi yang terjadi pada Grup Lippo dan Grup Bakrie yang sempat jadi favorit investor, tetapi saat ini minatnya menurun.
“Dua grup itu tidak lagi eksis karena bisnisnya tidak bertumbuh dan mengalami masalah tata kelola, sehingga kepercayaan publik tidak sebesar dulu ketika mereka masih jaya,” paparnya.
Ke depan, Budi melihat, grup konglomerasi yang berhasil menggaet kepercayaan investor, khususnya investor asing, yang bakal merajai transaksi di bursa.
“Selain itu, pemiliknya juga harus berkomitmen dan konsisten menjaga harga saham melalui aksinya sebagai liquidity provider (market maker),” paparnya.
Director Reliance Sekuritas Indonesia, Reza Priyambada mengatakan, kapitalisasi pasar yang besar dari Grup Barito dipengaruhi oleh peningkatan harga saham mereka seiring dengan maraknya aksi beli para investor.
“Potensi naiknya masih ada, tetapi harus dilihat juga sentimen pendukungnya. Biasanya pelaku pasar juga suka memanfaatkan momentum yang ada untuk trading jangka pendek,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (30/8).
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer mengatakan, pergerakan saham emiten Grup Barito tercatat positif lantaran mengalami kenaikan kinerja sepanjang semester I, kecuali TPIA.
Selain disokong dari kenaikan kinerja, nilai transaksi emiten-emiten grup Prajogo Pangestu yang melesat salah satunya didukung oleh masuknya TPIA sebagai konstituen baru dalam Indeks Standar Global Morgan Stanley Capital International (MSCI) pada periode sebelumnya.
“Sementara, BREN juga masuk jajaran indeks Financial Times Stock Exchange (FTSE), sehingga turut mengerek permintaan investor akan saham ini,” paparnya.
Namun, kinerja emiten Grup Barito ke depannya masih beragam. BREN dilihat Mifta masih menarik lantaran segmentasi bisnisnya fokus di EBT.
“Meski secara jangka panjang BREN prospeknya menarik, akan tetapi secara jangka pendek saat ini harga saham BREN sudah memasuki area resistance. Jadi, kemungkinan besar akan ada koreksi dalam waktu dekat,” paparnya.
Mifta pun merekomendasikan wait and see untuk BREN, TPIA, dan CUAN karena valuasi sahamnya sudah cukup tinggi. Sementara, BRPT direkomendasikan trading buy dengan target harga terdekat di Rp 1.260 – Rp 1.290 per saham.