wmhg.org – JAKARTA. Harga tembaga London memperpanjang penurunannya ke titik terendah dalam dua pekan pada hari Selasa (28/1). Kekhawatiran atas permintaan yang suram dari konsumen utama China dan potensi dampak dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membebani sentimen pasar.
Harga tembaga acuan di London Metal Exchange (LME) turun 0,6% menjadi US$ 9.045 per metrik ton, pada pukul 11.05 WIB, Selasa (28/1), setelah menyentuh level terendah sejak 9 Januari di awal sesi.
Fundamental ekonomi menunjukkan harga tembaga yang lebih lemah karena pertumbuhan China masih tampak mengecewakan dan risiko perang dagang global meningkat, kata Kyle Rodda, analis pasar keuangan senior di Capital.com seperti dikutip Reuters.
Data pada hari Senin menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur China secara tak terduga berkontraksi pada bulan Januari, yang membuat seruan untuk stimulus tetap ada di ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Sentimen yang lebih membebani adalah kekhawatiran akan potensi tarif, yang kembali muncul setelah AS dan Kolombia mundur dari ambang perang dagang.
Indeks dolar naik 0,6% setelah terpukul semalam. Guncangan luas di pasar keuangan menyusul munculnya asisten AI gratis DeepSeek dari China, yang mengklaim menggunakan chip berbiaya rendah dan lebih sedikit data.
Dolar yang lebih kuat membuat komoditas yang dihargakan dalam dolar AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Perdagangan juga terdampak oleh tidak adanya pembeli China, yang mulai liburan Tahun Baru Imlek. Bursa Berjangka Shanghai ditutup mulai 28 Januari hingga 4 Februari.
Sementara itu, jajak pendapat Reuters menunjukkan bahwa analis telah menurunkan perkiraan mereka untuk harga tembaga pada tahun 2025.
Hari ini, harga aluminium tiga bulan turun 0,4% menjadi US$ 2.592 per metrik ton. Harga seng turun 0,1% menjadi US$ 2.812 per ton. Harga timbal turun 0,4% menjadi US$ 1.942, nikel turun 0,1% menjadi US$ 15.550 per metrik ton. Sementara timah naik 0,3% menjadi US$ 29.720 per metrik ton.