Jakarta – Masyarakat Indonesia akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk urusan kesehatan karena fenomena tingkat inflasi kesehatan Indonesia yang sedang menunjukkan tren kenaikan. Hal ini tertuang dalam riset IFG Progress, lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG).
Kondisi ini akan berdampak pada meningkatnya nilai klaim kesehatan, sehingga industri asuransi kesehatan perlu menerapkan pengelolaan risiko yang prudent sejalan dengan nilai klaim yang berpotensi meningkat tersebut.
Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengungkapkan, biaya kesehatan Indonesia pada 2023 diperkirakan tumbuh 13,6% atau lebih tinggi dibandingkan pada sebelumnya sebesar 12,3%.
Pertumbuhan tersebut merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN, bahkan tercatat lebih tinggi secara rata-rata global, jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis (3/10/2024).
Biaya kesehatan yang tinggi tersebut timbul karena adanya inflasi kesehatan, yang terefleksi dari kenaikan harga layanan medis, obat-obatan, dan teknologi kesehatan. Di sisi lain, gaya hidup yang tidak sehat, tingkat stres yang tinggi, polusi lingkungan, dan perubahan iklim yang turut menyebabkan kenaikan penyakit kronis dan katastropik membutuhkan biaya perawatan yang lebih tinggi.
“Dengan angka inflasi kesehatan di atas 12%, jauh dari inflasi umum hanya 5,51%, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan perawatan. Ketika peningkatan inflasi kesehatan terjadi, biaya untuk rawat inap, konsultasi dokter, hingga pemeriksaan laboratorium cenderung ikut meningkat,” ujar Ibrahim.
Ibrahim menjelaskan, untuk Indonesia, porsi biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah sebesar 59%, sedangkan yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat sekitar 27%. Karena itu, kondisi tingginya inflasi kesehatan perlu mendapat perhatian semua pihak karena berdampak kurang menyenangkan, baik bagi pemerintah dan juga masyarakat.