Jakarta Dua orang dosen dan seorang mahasiswa mengajukan Judicial Review (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menantang ketentuan Pasal 7 angka 57 dan 6 serta Pasal 276 angka 3, 13, dan 24 UU PPSK yang dianggap mengancam independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang berpotensi merugikan hak konstitusional nasabah bank di Indonesia.
Mereka adalah Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda yang berprofesi sebagai dosen, serta Mario Angkawidjaja yang berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus nasabah Bank Perkreditan Rakyat.
Permohonan JR ini berfokus pada dua ketentuan dalam UU PPSK yang dinilai dapat mengganggu otonomi LPS. Pertama, adalah ketentuan yang mensyaratkan persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS.
Menurut para pemohon, ketentuan ini akan membatasi independensi LPS, yang seharusnya bebas dari intervensi politik dalam menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan nasabah. Bahkan, jika dikaitkan dengan Pasal 276 angka 28 UU PPSK yang menyisipkan Pasal 36C, persetujuan Menteri tersebut berpotensi mengarahkan LPS sedemikian rupa untuk menjamin kepentingan pemerintah.
Pasal 36C yang dimaksud berbunyi: “(1) Dalam hal terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah pada Bank dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional. (2) Besaran nilai simpanan milik Pemerintah yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Jika LPS tidak dapat menjalankan tugasnya dengan independen, maka nasabah akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Hak mereka untuk mendapatkan jaminan atas simpanan di bank akan terganggu, ujar salah satu dosen yang menjadi pemohon dalam JR ini.