wmhg.org – JAKARTA. Emiten tambang dari grup Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah merilis laporan keuangan emester I-2024. Mayoritas mengalami penurunan laba bersih meski secara pendapatan mengalami peningkatan.
Ada empat emiten yang menjadi anggota Mining Industry Indonesia (MIND ID), holding industri pertambangan BUMN. Mereka adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Mulai dari PTBA, emiten tambang batubara plat merah ini mengantongi pendapatan senilai Rp 19,64 triliun dalam periode setengah tahun 2024. Meningkat 4,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Year on Year/YoY) dari sebelumnya Rp 18,85 triliun.
Sejalan dengan itu, beban pokok pendapatan PTBA ikut menanjak sebanyak 10,03% (YoY) menjadi Rp 16,23 triliun. Membuat laba bruto PTBA menyusut 16,87% (YoY) menjadi Rp 3,40 triliun.
Secara bottom line, PTBA meraih laba bersih sebesar Rp 2,03 triliun. Turun 26,71% dibandingkan laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk semester I-2023, yang kala itu mencapai Rp 2,77 triliun.
Meski secara tahunan (YoY) menurun, tapi Corporate Secretary Bukit Asam Niko Chandra mengungkapkan secara kuartalan (Quarter to Quarter/QoQ) kinerja keuangan PTBA mengalami kenaikan. Laba bersih PTBA pada kuartal II-2024 mencapai Rp 1,24 triliun atau tumbuh sekitar 57% (QoQ).
Hasil itu didukung oleh kinerja pendapatan PTBA yang mencapai Rp 10,23 triliun pada kuartal II-2024 atau naik sekitar 9% dibandingkan kuartal I-2024. Sedangkan secara operasional, total penjualan batubara PTBA mencapai 20,05 juta ton pada Januari-Juni 2024, meningkat sekitar 15% (YoY).
Hanya saja, rata-rata indeks harga batubara ICI-3 terkoreksi sekitar 19% (YoY) menjadi US$ 75,89 per ton. Sementara rata-rata indeks harga batubara Newcastle terkoreksi sekitar 36% (YoY) menjadi US$ 130,66 per ton.
Tantangan bagi Perseroan di tahun ini, di antaranya adalah koreksi harga batubara dan fluktuasi pasar, ungkap Niko dalam keterangan tertulis yang disiarkan Kamis (1/8).
Beranjak ke ANTM, emiten tambang mineral ini membukukan penjualan senilai Rp 23,18 triliun hingga periode Juni 2024. Meningkat 7,01% ketimbang penjualan Rp 21,66 triliun yang diraih ANTM pada semester I-2023.
Namun beban pokok penjualan ANTM naik lebih tinggi sebanyak 21,58% (YoY) menjadi Rp 21,18 triliun. Sehingga laba kotor ANTM terpangkas 52,83% (YoY) ke posisi Rp 2 triliun pada semester I-2024.
Laba bersih ANTM pun menyusut 17,55% dari Rp 1,88 triliun menjadi Rp 1,55 triliun dalam enam bulan pertama 2024. Sekretaris Perusahaan Aneka tambang Syarif Faisal Alkadrie mengatakan ANTM mencetak pertumbuhan penjualan dengan mengatasi tantangan operasional yang disebabkan oleh kendala perizinan.
Kinerja ANTM juga dibayangi tantangan geopolitik-ekonomi global serta fluktuasi harga komoditas. ANTM pun memasang strategi memperkuat basis pelanggan domestik.
Agar dapat memberikan fondasi yang lebih solid untuk pertumbuhan jangka panjang dan ketahanan bisnis di tengah tantangan geopolitik dan ekonomi global, ungkap Syarif.
Kinerja yang mentereng justru dibukukan oleh TINS. Top line dan bottom line TINS kompak menanjak dalam periode enam bulan 2024. Pendapatan TINS meningkat 14,25% (YoY) dari Rp 4,56 triliun menjadi Rp 5,21 triliun pada semester I-2024.
Pada saat yang sama, TINS mampu memangkas beban pokok pendapatan sebanyak 4,08% menjadi Rp 3,99 triliun. Hasil ini membuat TINS membukukan laba bruto senilai Rp 1,21 triliun, naik 198,18% dibandingkan Rp 407,15 miliar pada semester I-2023.
Laba bersih TINS terbang setinggi 2.571,95% (YoY) dari Rp 16,26 miliar menjadi Rp 434,46 miliar pada semester I-2024. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Timah, Fina Eliani mengungkapkan peningkatan kinerja TINS sejalan dengan perbaikan tata kelola pertambangan dan niaga timah Indonesia.
Secara bersamaan, harga logam timah London Metal Exchange (LME) bergerak naik hingga bulan Juni. Harga jual rata-rata TINS meningkat 13% (YoY) dari US$ 26.828 per metrik ton ke level US$ 30.397 per metrik ton pada semester I-2024.
Perseroan secara bertahap memperbaiki kinerja operasi produksi dengan menambah jumlah unit tambang darat, pembukaan lokasi baru, jumlah kapal isap produksi yang beroperasi, serta tetap fokus pada program efisiensi berkelanjutan di seluruh lini bisnis, kata Fina.
INCO Chart by TradingView
Berikutnya adalah INCO, emiten nikel yang sudah merampungkan kewajiban divestasi pada 28 Juni 2024. Dengan divestasi tersebut, MIND ID kini menguasai 34,19% kepemilikan saham di INCO.
Posisi itu membuat MIND ID menjadi pemegang saham terbesar, dan bersama-sama dengan Vale Canada Limited menjadi pengendali (joint control) INCO. Sayangnya, kinerja INCO sedang lunglai pada semester I-2024.
Top line dan bottom line kompak merosot, dimana pendapatan INCO terpangkas 27,34% (YoY) dari US$ 658,96 juta menjadi US$ 478,75 juta. Secara bottom line, laba bersih INCO anjlok 82,05% dari US$ 207,80 juta menjadi US$ 37,28 juta pada semester I-2024.
CEO dan Presiden Direktur Vale Indonesia Febriany Eddy mengungkapkan pada semester II-2024 INCO akan proaktif mendorong inisiatif penghematan biaya untuk memastikan biaya tunai per unit tetap kompetitif dalam upaya menghasilkan margin yang sehat. Dengan perubahan komposisi pemegang saham baru-baru ini, INCO melihat banyak ruang untuk memanfaatkan inisiatif strategis.
Langkah ini diharapkan dapat membawa sinergi positif, seperti integrasi pengadaan dalam grup untuk harga komoditas yang lebih baik, dimana hal ini merupakan salah satu penggerak biaya terbesar INCO.
“Meski kondisi pasar tidak menentu, kami tetap berkomitmen mengoptimalkan kapasitas produksi, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi biaya, tandas Febriany.
Dari sisi pergerakan harga saham, secara year to date TINS memimpin dengan akumulasi kenaikan harga di level 50%. Diikuti PTBA yang mengakumulasi penguatan sekitar 10%.
Sedangkan pergerakan harga saham ANTM dan INCO masih tertinggal. Laju saham ANTM mengakumulasi penurunan sebanyak -21%, sedangkan INCO turun -10,80% secara year to date hingga pukul 10:02 WIB perdagangan Jum'at (2/8).