wmhg.org – JAKARTA. Beberapa hari belakangan, terutama sejak Donald Trump memenangkan pilpres Amerika Serikat (AS), dolar mengalami penguatan terus-menerus dan membuat mata uang utama kehilangan pamornya alias tertekan.Â
Berdasarkan Trading Economics, Kamis (14/11) pukul 19.25 WIB, euro melemah 0,34% dalam sehari dan 1,77% dalam sepekan. GBP juga tertekan 0,37% dalam sehari dan terkoreksi 1,99% dalam sepekan. AUD juga melemah 0,45% dalam sehari dan turun 1,81% dalam sepekan di hadapan dolar AS.Â
Research and Development ICDX Taufan Dimas Hareva mencermati penguatan dolar juga disebabkan oleh data inflasi terbaru di AS. Indeks Harga Konsumen (CPI) AS naik 2,6% secara tahunan.
Ini memperkuat optimisme pasar bahwa Federal Reserve (Fed) mungkin akan menunda pemotongan suku bunga lebih lanjut, jelas Jonathan dalam riset, Kamis (14/11).Â
Hal tersebut juga mendorong imbal hasil obligasi AS terus berada di level tertinggi, yang memberikan daya tarik lebih pada Dolar AS.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo mengatakan arus uang telah mengalir kembali ke AS di tengah sentimen kebijakan Trump untuk mengenakan bea masuk baru kepada beberapa negara.
Kebijakan Trump yang lebih pro-inflasi diyakini bakal memaksa The Fed untuk melakukan lebih sedikit pemotongan suku bunga pada tahun 2025, bahkan bisa saja menghentikannya sama sekali.
Dengan demikian, imbal hasil yang tinggi dan dolar yang tinggi akan menempatkan mata uang utama di posisi lemah, kata Sutopo kelada Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Meski demikian, Sutopo memperkirakan mata uang utama masih memiliki prospek menguat. Tetapi prospeknya bervariasi tergantung sejumlah faktor seperti kinerja ekonomi yang kuat.Â
Selain itu keputusan bank sentral tentang suku bunga juga akan berdampak signifikan. Apabila Bank Sentral Eropa atau Federal Reserve menyesuaikan suku bunga, hal itu dapat memengaruhi euro dan dolar.
Sutopo menyebut, stabilitas dan tingkat inflasi yang rendah di kawasan seperti Eropa dapat meningkatkan kepercayaan investor, mendukung mata uang seperti euro dan poundsterling Inggris terapresiasi.Â
Di sisi lain, Analis Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong tidak melihat adanya potensi mata uang utama menguat dihadapan dolar. Jadi walaupun ekonomi negara dari mata uang utama masih bagus, namun diperkirakan masih akan terdampak pelemahan.Â
Menurut saya belum ada mata uang yang bisa menguat dalam waktu dekat. Hingga kuartal 1 2025, investor juga masih perlu terus mencermati kebijakan Trump, kata dia kepada Kontan.co.id, Kamis (14/11).Â
Lukman bilang, sejumlah analis dan investor memperkirakan gejolak inflasi yang akan bisa disebabkan oleh kebijakan tarif Trump berpotensi lebih besar dari beberapa tahun lalu ketika terjadi lockdown dan krisis supply-chain.Â
Walaupun memang dampaknya tidak akan langsung terasa, namun kekhawatiran akan inflasi dalam skala besar membuat banyak investor bertindak lebih awal.Â
Kendati demikian Lukman mencermati bahwa beberapa negara, seperti Inggris kemungkinan akan lebih sedikit terdampak oleh kebijakan Trump, mengingat hubungan dekat keduanya dan minimnya kesenjangan dalam perdagangan. Oleh karena itu, GBP diperkirakan akan lebih mampu bertahan tapi tidak signifikan.Â
Di sisi lain jika potensi pemangkasan suku bunga oleh Bank of England (BoE) tetap tinggi, karena inflasi sudah mendekati target bank sentral sebesar 2%, dimana inflasi saat ini berada di 1,7%. Kondisi tersebut akan memperlebar perbedaan tingkat suku bunga antara BoE dan The Fed, yang pada akhirnya dapat menekan nilai GBP.
Sutopo juga memperkirakan dolar AS akan tetap kuat hingga 2024, didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang solid, perkiraan suku bunga, serta imbal hasil yang tinggi.
Untuk mata uang euro, Sutopo memproyeksi mata uang ini akan menghadapi tekanan jika ECB memangkas suku bunga. Di sisi lain ada potensi menguat apabila kondisi ekonomi membaik.
Sementara poundsterling dapat mengalami kinerja yang beragam, dipengaruhi oleh data ekonomi Inggris dan potensi pergeseran kebijakan moneter.
Yen Jepang kemungkinan akan tetap bergejolak, dipengaruhi oleh kebijakan moneter AS dan kondisi ekonomi domestik.