wmhg.org – Profil Hendry Lie dan perusahaan yang dipimpinnya, Sriwijaya Air setelah dirinya ditangkap Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung)di Bandara Soekarno Hatta, Senin (18/11/2024) malam.
Hendry yang terlibat dalam kasus rasuah tersebut sebelumnya buron ke Singapura dalam tujuh bulan terakhir. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, penyidik meringkus Hendry setelah terendus tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
Hendry Lie pertama kali diperiksa oleh penyidik sekitar 29 Februari lalu. Saat itu Hendry masih diperiksa sebagai saksi. Setelah menjalani pemeriksaan pertama sebagai saksi, Hendry kabur ke Singapura, dengan alasan berobat tanpa sepengetahuan pihak Kejaksaan Agung pada 25 Maret 2024 lalu.
Penyidik, lanjut Qohar, kemudian melakukan pemanggilan terhadap Hendrie Lie beberapa kali. Namun ia selalu mangkir dari panggilan penyidik.
Untuk diketahui, Hendry Lie sebagai Direktur maskapaiSriwijaya Airtersandung kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP)PT TimahTbk (TIN) 2015-2022.
Hendry Lie dan adiknya Fandy Lingga, yang berasal dari PT TIN, diduga terlibat dalam pembentukan dua perusahaan yang bertindak sebagai boneka dan mengaku sebagai pemilik PT TIN. Perusahaan-perusahaan ini digunakan untuk menyewakan alat peleburan timah, namun sebenarnya bertujuan untuk menutupi kegiatan pertambangan ilegal yang dilakukan.
Profil Hendry Lie
Hendry Lie adalah seorang komisaris perusahaan yang tercatat di Sriwijaya Air bersama dengan kakaknya, Chandra Lie. Keduanya adalah pendiri Sriwijaya Air pada tahun 2002.
Perjalanan bisnis Sriwijaya Air ini mengalami perkembangan yang pesat. Saat pertama kali beroperasi pada tanggal 10 November 2003, maskapai ini hanya memiliki satu armada Boeing 737-200. Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah armada pesawatnya bertambah menjadi 15 dengan tipe masih sama, yaitu Boeing.
Dalam waktu hanya 4 tahun beroperasi, maskapai ini berhasil meraih penghargaan keselamatan penerbangan dari Boeing pada tahun 2007, yaitu Boeing International Award for Safety and Maintenance of Aircraft.
Pada tahun 2013, Sriwijaya Air melengkapi bisnisnya dengan mendirikan maskapai penerbangan tambahan yang diberi nama NAM Air. Namun, ekspansi tersebut tidak berlangsung lama karena Sriwijaya Air menghadapi masalah keuangan yang cukup serius, terutama karena harus menanggung beban utang yang besar. Situasi semakin memburuk setelah Sriwijaya Air mengakhiri kemitraan dengan Garuda Indonesia pada tahun 2019.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni