wmhg.org – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan bahwa penutupan sementara pabrik skincare di Bandung selama 30 hari adalah upaya pembinaan atas pelanggaran yang dilakukan terkait jenis kosmetik etiket biru.
Mohamad Kashuri, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM, di Bandung, Rabu, mengatakan bahwa hal ini adalah upaya pengawasan pascapemasaran untuk menjaga konsistensi produksi sesuai dengan izin yang diajukan.
Penutupan sebuah industri atau pabrik yang kami awasi ini adalah sebagai upaya pembinaan, supaya mereka bisa bangkit lagi nanti pada saatnya sesuai dengan regulasi dan standar produk yang aman, katanya.
Jika belum berbenah dan masih melakukan operasionalnya, lanjut Kashuri, ada sanksi pidana yang bisa dikenakan berupa penahanan belasan tahun dan denda miliaran rupiah.
Jika masih ditutup tetapi beroperasi, ada sanksi pidana karena regulasinya mengatur demikian. Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan, bisa dipidana maksimal 12 tahun penjara atau denda maksimal Rp5 miliar, ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Kashuri juga mengatakan bahwa kesadaran masyarakat akan suatu produk mestinya ditingkatkan dengan perkembangan teknologi saat ini seperti e-commerce, hingga grup pesan digital yang memungkinkan transaksi perdagangan secara peer-to-peer.
Kita tidak bisa kontrol, sehingga masyarakat adalah benteng pertama dan terakhir. Sebagai konsumen, jangan membeli produk yang tidak wajar, misalnya dalam 1-2 hari bikin kulit putih, ujarnya, dikutip dariAntara.
Dia juga mengimbau masyarakat membeli produk kosmetik di toko resmi terpercaya agar lebih aman sekaligus masyarakat terlindungi secara lebih luas.
Karena kan kosmetik ini tidak semua orang cocok ya, kadang ada alergi. Ketika si toko terpercaya menjual produk yang tidak sesuai ketentuan kan bisa dilaporkan sehingga yang lain tak terkena dampak yang sama, kemudian kita juga memberikan pembinaan kepada yang produksi untuk memperbaiki formulanya, atau nanti kita minta di dalam labelnya diberikan informasi yang lebih bahwa tidak cocok untuk kulit tertentu, ucapnya.
Terkait dengan kosmetik beretiket biru, Kashuri mengingatkan bahwa produk tersebut tidak dapat dijual secara bebas, karena sebenarnya merupakan obat yang harus diresepkan oleh dokter dan dibeli di apotek berdasarkan keluhan kulit dari masyarakat.
Karena produk ini baru dibuat dan tidak memiliki label, apotek memberikan label warna biru yang disebut etiket biru. Selama ini, jika prosesnya dilakukan dengan benar—dari dokter ke apotek dan diberikan kepada pasien secara individual—tidak ada masalah. Namun, yang tidak diperbolehkan adalah jika produk ini diproduksi secara massal dan dijual secara luas, bahkan secara online, tanpa memenuhi persyaratan produksi kosmetik yang baik. Hal ini dapat berisiko bagi konsumen jika terjadi masalah, ujarnya.
Dia menambahkan bahwa industri memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap komposisi produk sesuai dengan yang didaftarkan dan dinyatakan aman serta berkualitas sebelum mendapatkan izin edar.
Pemerintah melalui BPOM melakukan pengawasan pascapemasaran melalui kegiatan sampling dan pemeriksaan sarana produksi. Jika pelaku usaha atau industri tersebut terbukti tidak aman, maka konsumen yang cerdas adalah benteng terakhir untuk melindungi diri mereka dari produk yang tidak aman, tuturnya.
Sebelumnya, BPOM menghentikan sementara produksi sebuah pabrik _skincare_ di Bandung yang diduga terlibat dalam peredaran produk kosmetik beretiket biru secara ilegal. Produk _skincare_ beretiket biru seharusnya hanya diberikan setelah konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter. Tanpa itu, peredarannya dianggap melanggar hukum.
Pelanggaran ini semakin serius karena produk tersebut dijual bebas di pasaran, termasuk di marketplace, dan berpotensi mengandung bahan berbahaya seperti merkuri dan hidrokuinon. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan iritasi kulit dan bahkan meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang.