wmhg.org – Indeks utama Wall Street dibuka melemah pada Jumat (15/11), setelah Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan tidak ada urgensi untuk segera memangkas suku bunga.
Pernyataan tersebut mendorong kenaikan imbal hasil obligasi dan memberikan tekanan pada saham-saham sensitif terhadap suku bunga.
Melansir Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average turun 162,9 poin atau 0,37% menjadi 43.587,93 pada pembukaan perdagangan.
Indeks S&P 500 merosot 36,4 poin atau 0,61% menjadi 5.912,79 dan Nasdaq Composite anjlok 177,7 poin atau 0,93% ke 18.929,916.
Dalam pidatonya pada Kamis (14/11), Powell mengutip pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pasar tenaga kerja yang solid, dan inflasi yang masih di atas target 2% sebagai alasan bagi bank sentral untuk berhati-hati dalam menentukan laju dan cakupan pemangkasan suku bunga di masa mendatang.
Komentar Powell menyebabkan imbal hasil obligasi AS meningkat. Sementara indeks utama Wall Street menutup perdagangan sebelumnya dengan penurunan.
Pedagang kini meningkatkan prediksi bahwa Federal Reserve akan mempertahankan suku bunga pada pertemuan Desember mendatang.
Berdasarkan CME FedWatch Tool, peluang tersebut naik menjadi 45% dibandingkan hanya 14% sebulan lalu.
Selain itu, mereka memperkirakan hanya akan ada pemangkasan total sekitar 71 basis poin hingga akhir 2025, menurut perhitungan LSEG.
Laporan Departemen Perdagangan menunjukkan, penjualan ritel di AS naik 0,4% pada Oktober secara bulanan, lebih tinggi dibandingkan estimasi kenaikan 0,3% menurut ekonom yang disurvei oleh Reuters.
Angka penjualan ritel cukup baik secara keseluruhan. Inilah yang disinggung Powell kemarin, bahwa jika ekonomi terus kuat dan inflasi mendekati target, mereka bisa bersabar dan memperlambat pemangkasan suku bunga dibandingkan perkiraan sebelumnya, kata Mike Dickson, Kepala Riset dan Strategi Kuantitatif di Horizon Investments.
Ketiga indeks utama AS diperkirakan mencatat kerugian mingguan karena reli tajam pasca pemilu memudar.
Fokus pasar kini bergeser pada kondisi ekonomi dan potensi risiko inflasi di bawah pemerintahan kedua Donald Trump.