wmhg.org – JAKARTA. Pemerintah bersama DPR RI sepakat agar belanja wajib (mandatory spending) anggaran pendidikan yang sebesar 20% dari APBN dikaji kembali.
Pemerintah dan DPR menginginkan mandatory spending anggaran pendidikan kedepannya berasal dari 20% target pendapatan negara, dan tidak lagi berasal dari 20% total anggaran belanja negara.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, apabila anggaran pendidikan berasal dari 20% target pendapatan negara, maka anggaran pendidikan tersebut akan berkurang.
Untuk diketahui, sejauh ini APBN sering kali mencatatkan defisit. Artinya penerimaan negara lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan negara. Nah apabila anggaran belanja pendidikan dirancang 20% dari target pendapatan negara, maka nilainya akan berkurang.
“Dari sisi ekonomi, akan berimplikasi ke penurunan anggaran belanja pendidikan, karena desain APBN akan selalu defisit, yang mana pendapatan lebih rendah dari belanja,” tutur Eko kepada Kontan, Kamis (5/9).
Meski begitu, Eko menilai, anggaran belanja pendidikan yang memang jumlahnya besar perlu dievaluasi tingkat efektivitasnya, agar manfaatnya optimal untuk memperbaiki kualitas SDM Indonesia.
Maka dari itu, dalam aturan yang lebih teknis harapannya porsi belanja untuk manfaat langsung ke siswa harus lebih dominan.
“Di samping itu, pada daerah-daerah yang SDM-nya jauh lebih rendah juga perlu dukungan anggaran yang lebih disertai dengan pendampingan dan pengawasan,” ungkapnya.
Adapun anggaran pendidikan terus meningkat setiap tahunnya. Mengacu pada data lima tahun terakhir, anggaran pendidikan pada 2019 mencapai Rp 460,3 triliun, kemudian meningkat pada 2020 Rp 473,7 triliun, pada 2021 sebesar Rp 479,6 triliun, pada 2022 mencapai rp 574,9 triliun, pada 2023 mencapai 612,2 triliun, pada 2024 mencapai Rp 665 triliun, dan pada 2025 direncanakan sebesar Rp 722,6 triliun.