wmhg.org – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan aturan mengenai pemanfaatan sumber pendanaan di pasar modal melalui penerbitan obligasi daerah dan sukuk daerah.
Melalui aturan tersebut, maka pemerintah daerah (pemda) diberikan perluasan ruang untuk pendanaan.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2024 (POJK 10/2024) tentang Penerbitan dan Pelaporan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa terbitnya aturan POJK tersebut sebenarnya mengisi kekosongan dari aturan atau regulasi terkait penerbitan obligasi daerah yang sebenarnya merupakan wacana lama yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah.
Menurutnya, perluasan sumber pembiayaan termasuk di dalamnya pengaturan penerbitas obligasi yang berbasis environmental, social, and governance (ESG) merupakan upaya untuk mendanai beberapa masalah lingkungan maupun sosial di beberapa daerah menggunakan instrumen obligasi daerah.
Adapun salah satu penyesuaian dalam POJK 10/2024 ini mencakup penambahan kewajiban memperoleh hasil pemeringkatan obligasi daerah dan/atau sukuk daerah.
Yusuf menyebut, pemeringkatan menjadi salah satu hal penting bagi investor untuk menentukan apakah instrumen surat obligasi daerah yang diterbitkan oleh pemda sudah sesuai dengan kaidah baik dari sisi teknis maupun dari sisi administratif.
Termasuk di dalamnya, dari sisi pemda, pemeringkatan menjadi penting untuk memastikan bahwa penerbitan yang dilakukan sudah melalui proses yang memang diperlukan untuk memastikan penerbitan obligasi daerah telah mempertimbangkan risiko dan prinsip-prinsip yang lumrah dilakukan ketika suatu instansi menerbitkan obligasi.
Di sisi lain, obligasi daerah memang menjadi salah satu alternatif pendanaan yang bisa digunakan oleh pemda di tengah keterbatasan sumber pendanaan utama yang selama ini pemda kesulitan untuk merancang prose pembangunan daerah maupun ketergantungan terhadap dana dari pemerintah pusat.
Meski demikian saya kira penerbitan obligasi daerah juga punya konsekuensi termasuk di dalamnya setiap Pemda nantinya perlu memastikan program yang akan didanai atau dibiayai itu tetap akan berjalan meskipun pemerintah ataupun pimpinan pemerintahan di level daerah itu berganti, katanya.
Hal tersebut menjadi penting mengingat beberapa kebijakan di level daerah kerap kali berubah ketika terjadi pergantian kepemimpinan.
Selain itu, penerbitan obligasi juga perlu dukungan politik terutama di level DPRD sehingga pengetahuan dan juga sosialisasi terkait cara kerja obligasi juga menjadi penting.
Kendati begitu, Yusuf meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati terkait daerah yang diperbolehkan menerbitkan obligasi atau sukuk daerah.
Hal ini dikarenakan ketidakmampuan Pemda untuk merampungkan segala proses yang harus dilakukan dalam penerbitan obligasiu di daerah akan menjadi semacam risiko kontijensi yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat.
Tentu risiko itu akan masuk ke APBN sehingga menurut saya memang perlu kehati-hatian terutama dalam lembaga pemerintah dan juga pemberian izin ke daerah yang akan berencana menerbitkan obligasi di level daerah, terang Yusuf.