wmhg.org – JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai mengantisipasi dampak peluang resesi Amerika Serikat (AS) yang turut mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan bahwa kondisi ekonomi AS dan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed yang lebih agresif akan menguntungkan pasar surat utang pemerintah.
Pasalnya, surat berharga negara (SBN) akan dinilai oleh investor memiliki daya tarik.
Apalagi tingkat bunga surat berharga AS tenor 10 tahun sudah lebih dulu turun ke level 3,7%. Bahkan penurunnya dinilai sudah cukup tajam dalam beberapa hari terakhir. Febrio menyebut, penurunan bunga surat utang AS juga turut mengerek penurunan bunga SBN tenor 10 tahun ke level 6,77%.
Artinya kita akan melihat dinamika global tersebut kalau memang turun karena memang harus mereka adjust, justru dampaknya positif bagi kita. Itu yang harus kota kawal, ujar Febrio kepada awak media di Jakarta, Selasa (6/8).
Oleh karena itu, dinamika tersebut harus dikelola dengan baik untuk memastikan tidak memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Ini kita gunakan supaya justru memperbaiki dan membuat peluang dari struktur pembiayaan kita, katanya.
Diberitakan sebelumnya, Kemenkeu mencatat, realisasi pembiayaan utang mengalami peningkatan hingga akhir Juni 2024 atau semester I-2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan, realisasi pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp 214,7 triliun pada semester I-2024. Realisasi ini meningkat 28,9% dibandingkan realisasi semester I-2023 sebesar Rp 166,5 triliun.
Meski mengalami peningkatan, realisasi pembiayaan utang pemerintah masih jauh dari target yang ditetapkan, yakni baru mencapai 33,1% dari pagu anggaran yang ditetapkan sebesar Ro 648,1 triliun.
Secara rinci, penarikan utang pemerintah utamanya berasal dari surat berharga negara (SBN) neto yakni sebesar Rp 206,2 triliun atau 30,9% dari APBN. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar Rp 157,9 triliun. Hal ini dipengaruhi oleh struktur utang jatuh tempo.
Jadi masih sesuai on track, meskipun secara nominal dalam hal ini lebih tinggi dari tahun lalu, ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Selasa (9/7).