wmhg.org – JAKARTA. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) meramal current account atau neraca transaksi berjalan Indonesia akan bergerak surplus hingga 2029.
IMF memproyeksikan neraca transaksi berjalan Indonesia masih bergerak defisit 0,2% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2024. Sementara itu pada 2025 mendatang akan berbalik surplus sebesar 0,3% dari PDB.
Kemudian, dari 2026 hingga 2029 neraca transaksi berjalan Indonesia diperkirakan akan mengalami surplus sebesar 0,5% dari PDB, kemudian meningkat menjadi surplus 0,6% dari PDB pada 2029.
Meski neraca transaksi berjalan diperkirakan bergerak positif, namun IMF memperkirakan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) akan mencatatkan defisit hingga 2029. Defisit tersebut bahkan diperkirakan makin melebar.
Pada 2024, NPI diperkirakan mengalami defisit sebesar US$ 12,3 miliar, kemudian diperkirakan semakin melebar pada 2025 dengan perkiraan defisit US$ 20,5 miliar, pada 2026 diperkirakan mencapai defisit meningkat menjadi US$ 24,2 miliar.
Selanjutnya, defisit NPI diperkirakan terus melebar pada 2027 diperkirakan US$ 25,5 miliar, pada 2028 defisit NPI diperkirakan mencapai US$ 27,3 miliar, dan pada 2029 diperkirakan defisitnya mencapai US$ 30,3 miliar.
Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalia Situmorang menilai, ke depan perekonomian diharapkan bisa tumbuh semakin besar. Sejalan dengan itu, arus investasi asing yang masuk, juga ekspor dan impor kemungkinan akan meningkat.
Dengan meningkatnya ekspor dan impor, akan membuat posisi neraca transaksi berjalan meningkat.
“Nah hal-hal ini yang menyebabkan kebutuhan akan mata uang asing juga naik, dan ada potensi rupiah depresiasi,” tutur Ana sapaan akrab Hosianna kepada Kontan, Minggu (11,8).
Ana memperkirakan nilai tukar rupiah pada tiga tahun mendatang akan mencapai Rp 15,300 hingga Rp 16.000 per dollar AS. Meski begitu, Ia menyebut, depresiasi nilai tukar rupiah tersebut bukan berarti menjadi negative.
Sebab, dengan fundamental fundamental makroekonomi domestik yang solid, depresiasi nilai tukar rupiah bukan pertanda hal terburuk.
“Karena pasti Bank Indonesia juga akan mendukung kestabilan nilai tukar yang optimal untuk aktivitas ekspor impor dan ekonomi secara keseluruhan,” jelasnya.
Sementara itu, berbanding terbalik dengan proyeksi IMF, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto justru memprediksi neraca transaksi berjalan masih akan mencatatkan defisit dalam lima hingga enam tahun ke depan.
“Ini karena ekonomi kita masih akan terus tumbuh di atas 5%, dan kemungkinan akan terus meningkat sejalan dengan program-program kita. Jadi kemungkinan impor masih akan tetap kuat,” ungkap Myrdal.
Disisi lain, investasi juga tetap menarik sehingga, masih harus terus membayar dividen, dan juga masih akan membayar imbal hasil obligasi utamanya kepada investor asing. Faktor tersebutlah, lanjut Myrdal yang akan membuat neraca transaksi berjalan masih mengalami defisit.
Sementara itu, Myrdal memproyeksikan NPI dalam lima tahun mendatang akan bergerak positif. Hal ini karena adanya potensi dari aliran uang yang masuk dari investasi portofolio atau investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).
“Karena investasi domestik masih akan terus menarik kedepannya. Utamanya investasi di pertambangan, manufaktur, atau terkait dengan konstruksi dan pertanian. Jadi untuk NPI sampai enam tahun kedepan kemungkinan akan positif,” terangnya.
Kedepan, Myrdal memperkirakan nilai tukar rupiah masih akan bergerak moderat atau cenderung menguat dengan syarat arah kebijakan penurunan suku bunga The Fed.
Apabila The Fed menurunkan suku bunga lebih dari 25 basis poin (bps) pada 2024, maka nilai tukar rupiah akan menguat di kisaran Rp 15.700 per dollar AS.
Kemudian, apabila The Fed menurunkan suku bunga 25 bps pada 2025, maka nilai tukar rupiah berpotensi menguat di level Rp 15.500 per dollar AS.
Selanjutnya, apabila pada 2027 The Fed tidak merubah kebijakan suku bunganya, dan harga minyak global bergerak stabil, maka nilai tukar rupiah masih bergerak di kisaran Rp 15.500 per dollar AS.
“Sampai jangka panjang rupiah sekitar Rp 15.500 per dollar AS, dengan catatan sudah terjadi penurunan suku bunga beberapa kali dari The Fed, ditambah dengan asumsi harga minyak yang tidak melebihi US$ 85 per barel,” imbuhnya.