wmhg.org – JAKARTA. Persidangan fintech peer to peer (P2P) lending PT Tanifund Madani Indonesia atau TaniFund atas perkara wanprestasi atau gagal bayar terus bergulir. Mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi menjadi saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang yang digelar hari Selasa (13/8) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 160/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL dan 64/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL.
Hendrikus menjelaskan bahwa konsumen (lender) beriktikad tak baik apabila menggugat wanprestasi. Sebab perusahaan fintech P2P lending tak bisa langsung dianggap wanprestasi ketika peminjam mengalami gagal bayar.
Dia menambahkan bahwa perusahaan fintech P2P lending hanya sebagai fasilitator. Perusahaan fintech mempertemukan pemberi dana dengan peminjam yang membutuhkan dana. Menurutnya, semua manfaat ekonomi sekaligus risiko yang ada ditanggung oleh lender sebagai pemberi dana. Artinya, tak ada yang boleh menjamin bahwa lender pasti mendapatkan manfaat ekonomi.
Menanggapi hal itu, Kuasa Hukum Lender TaniFund Grace Sihotang mengatakan yang dimaksud dengan wanprestasi tersebut, yaitu TaniFund tidak bisa memastikan pembayaran itu kembali, seperti yang tertera di perjanjian antara TaniFund dengan lender.
Wanprestasi penyelenggara itu beda dengan borrower. TaniFund sudah termasuk wanprestasi karena tak merealisasikan poin yang terdapat dalam klausul perjanjian dengan lender (poin 7 hingga 10 klausul perjanjian), ucapnya kepada Kontan, Rabu (14/8).
Adapun poin yang dimaksud, yaitu mewakili Pemberi Kuasa dalam mengajukan tuntutan, gugatan, upaya hukum atau tindakan lainnya yang diperlukan dalam mengupayakan penyelesaian sengketa antara Pemberi Kuasa (lender) dan Penerima Pinjaman (borrower) di dalam maupun di luar pengadilan yang disertai dengan hak substitusi untuk menunjuk atau mengalihkan kuasa kepada pihak lain untuk mengupayakan penyelesaian sengketa dengan persetujuan Pemberi Pinjaman.
Selain itu, mengajukan pembelian dan menerima premi asuransi serta pengurusan klaim. Melakukan negosiasi, penilaian, dan menyetujui atau menolak restrukturisasi pinjaman sebagai upaya penyelamatan pengembalian dana pinjaman dalam hal terjadi keterlambatan atau kegagalan pembayaran/pelunasan pinjaman sesuai dengan wewenang yang diberikan Pemberi Kuasa berdasarkan Perjanjian Pinjam Meminjam. Melakukan pengurusan penerimaan jaminan serta eksekusi jaminan atas aset yang dijaminkan oleh Penerima Pinjaman (apabila ada) untuk kepentingan Pemberi Kuasa sehubungan penyaluran pinjaman.
Grace berpendapat poin dalam perjanjian tersebut, termasuk bagian surat kuasa, dibikin sedemikian rupa agar TaniFund bisa bertindak seenaknya. Dia bilang secara terpisah perjanjian penyaluran dibuat agar TaniFund tidak tanggung jawab ketika ada gagal bayar.
Mereka itu enggak tanggung jawab di perjanjian awal. Saya tanya saja terakhir ke dia (Hendrikus), kalau saya berutang sama Bapak Rp 1 miliar, Bapak mau itu enggak dibayar? Dia bilang enggak, seperti itu rasanya para lender, tuturnya.
Grace juga menceritakan pada sesi pemeriksaan saksi sebelumnya, lawyer TaniFund dinilainya beriktikad jahat dengan menyerahkan perjanjian hanya satu saja, sedangkan surat kuasa tidak diberikan.
Mengecoh saksi Gerry Rahman. Gerry bilang perjanjiannya kurang karena seharusnya ada surat kuasa, ujarnya.
Selain itu, Grace membeberkan dalam perjanjian juga terdapat pasal wanprestasi sehingga lender berhak untuk menggugat. Dia lantas mempertanyakan keterangan Hendrikus soal lender tidak bisa menggugat wanprestasi. Tentang wanprestasi lender, dia menjelaskan poin itu masuk dalam hal membayar, sedangkan wanprestasi penyelenggara adalah tidak berbuat sesuatu seperti yang ada dalam perjanjian dengan tidak memastikan dana kembali, seperti ketentuan pasal 1234 KUHPerdata.
Ciri khas perjanjian pinjam-meminjam itu ada klausul wanprestasi, jelas Grace.
Sementara itu, Grace juga bilang kalau perusahaan fintech tak mau tanggung jawab di awal, tentu tak ada orang yang mau memasukkan dana ke fintech lending.
Dia (Hendrikus) bilang moral Hazard, mau menanggung rugi. Kenapa rugi cuma pendana yang menanggung? Moral Hazard itu dalam hal risk atau risiko. Paham adanya risiko dan risiko itu artinya beda dengan kerugian. Risiko itu menyadari bahwa ada potensi loss, sedangkan kerugian itu lebih luas dari risiko. Risiko itu misal sadar bahwa bisa telat pembayaran, tetapi bukan berarti menanggung jika rugi atau duit hilang semua, ungkapnya.
Menurut Grace, lender itu sudah menanggung sejumlah risiko. Salah satunya, seperti risiko hukum karena lender mengajukan gugatan, dananya telat dibayar, menunggu dana yang telat tersebut, tidak mendapat bunga, hingga biaya proses lender memperjuangkan dananya.
Apakah mereka juga harus menanggung kerugian karena kesalahan penyelenggara? katanya.
Grace menyebut perlu juga ditekankan bahwa moral hazard itu mesti berimbang, saat pendanaan mulai semua untung, tetapi saat rugi semua yang menanggung malah lender.
Grace juga menyoroti pernyataan Hendrikus yang mencontohkan investor pasar modal berinvestasi di bursa, maka harus tunduk dengan aturan yang mengaturnya. Hendrikus saat itu bilang ketika investor untung, maka mendapatkan return atau imbal hasil, begitu juga sebaliknya saat harga saham turun maka bisa rugi.
Kan tidak boleh ada gugatan wanprestasi, risiko biasa dalam proses investasi, ungkap Hendrikus.
Mengenai hal itu, Grace berpendapat tidak bisa fintech lending dianologikan dengan saham karena pinjam-meminjam itu ada janji uang kembali. Dia pun bilang penyertaan saham itu masih enak dari fintech lending. Walau merugi dan pokok dana belum kembali, investor saham tercatat ada tanda sebagai pemilik perusahaan, sedangkan lender fintech lending tidak dapat apa-apa.
Lalu, apa untungnya memasukkan dana di fintech? Tanifund juga sudah dicabut izin usahanya, hilang semua uang. Mana sama dengan saham? Pernyataan Hendrikus itu sesat pikir, katanya.
Di sisi lain, Hendrikus sempat menyebut bahwa dalam bisnis fintech P2P lending, lender diberikan pilihan asuransi. Namun, hal tersebut tak bisa diwajibkan ke seluruh lender. Jika diwajibkan, Hendrikus melihat ada potensi terjadi moral hazard, yang mana bisa menimbulkan persekongkolan antara perusahaan fintech P2P lending dan perusahaan asuransi.
Selain itu, Hendrikus juga bilang bahwa penyelenggara fintech P2P lending tidak diperbolehkan menerima langsung aliran dana dari lender. Dana tersebut harus dikelola melalui virtual account atau rekening dana lender yang sepenuhnya di bawah kendali lender. Jika ditemukan bahwa penyelenggara fintech menyentuh dana tersebut, Hendrikus bilang OJK berhak mencabut izin operasional mereka.
Grace juga menambahkan sudah jelas adanya kesalahan penyelenggara, yakni TaniFund, dalam mengelola dana lender. Hal itu juga sudah disampaikan OJK dalam keterangan resmi terkait indikasi fraud TaniFund.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman sempat menyatakan pihaknya mengambil langkah tegas dengan melaporkan fintech peer to peer (P2P) lending PT Tani Fund Madani Indonesia atau TaniFund ke kepolisian karena indikasi fraud.
Untuk kasus TaniFund, OJK sudah melakukan pelimpahan kepada Bareskrim. Untuk proses hukum lebih lanjut dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum, ucapnya dalam lembar jawaban tertulis RDK OJK, Rabu (3/4).
Sebagai informasi, OJK telah mencabut izin usaha TaniFund yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-19/D.06/2024 pada 3 Mei 2024. Izin usaha TaniFund dicabut karena tak memenuhi ekuitas minimum dan melaksanakan rekomendasi pengawasan dari OJK.
Agusman menyebut OJK telah melakukan tindakan pengawasan dengan memberikan sanksi administratif secara bertahap, serta melakukan komunikasi secara intens dengan pengurus dan pemegang saham untuk memastikan penyelesaian masalah TaniFund.
Meskipun demikian, Agusman menyebut sampai detik terakhir, TaniFund tidak dapat menyelesaikan masalah sesuai batas waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, OJK harus mencabut izin usaha perusahaan itu.