wmhg.org – JAKARTA. Dalam dunia bisnis, perubahan kepemimpinan sering kali menandai titik balik penting bagi perusahaan.
Starbucks, sebagai salah satu perusahaan kopi terbesar di dunia, baru-baru ini mengalami pergantian CEO dari Laxman Narasimhan kepada Brian Niccol, yang dijadwalkan mulai bekerja pada bulan September mendatang.
Penurunan Penjualan
Salah satu indikator utama kinerja restoran adalah penjualan toko yang sama atau same-store sales. Selama periode kepemimpinan Narasimhan, Starbucks mengalami penurunan signifikan dalam metrik ini.
Pada akhir Juli, Starbucks melaporkan penurunan 3% dalam penjualan toko yang sama secara global dibandingkan dengan peningkatan 10% yang tercatat pada tahun lalu. Penurunan ini mencakup pasar domestik mereka, di mana penjualan toko yang sama di Amerika Serikat turun 2% dibandingkan dengan peningkatan 7% pada periode yang sama tahun lalu.
Di China, pasar pertumbuhan utama bagi Starbucks, penjualan toko yang sama merosot 14% dibandingkan dengan pertumbuhan besar sebesar 46% pada tahun sebelumnya.
Starbucks mengaitkan kinerja buruk ini dengan beberapa faktor, termasuk boikot terkait Timur Tengah yang mempengaruhi citra merek mereka serta lingkungan konsumen yang menantang di AS dan kompetisi yang meningkat di China.
Starbucks juga telah mencoba berbagai cara untuk meningkatkan penjualan, termasuk memperkenalkan minuman terinspirasi boba dan paket bundling. Namun, penurunan 6% dalam jumlah transaksi yang dapat dibandingkan di AS, yang hanya sebagian diimbangi oleh peningkatan 3% dalam ukuran tiket rata-rata, menunjukkan adanya masalah mendalam yang perlu diatasi.
Konfrontasi dengan Investor Aktivis
Selama masa kepemimpinan Narasimhan, Starbucks menghadapi tantangan tambahan dari investor aktivis. Elliott Management, yang dipimpin oleh pendirinya Paul Singer, mengambil sikap terhadap raksasa kopi ini.
Narasimhan mengonfirmasi pada bulan Juli bahwa Elliott Management telah mengambil saham di Starbucks, dan perbincangan antara kedua belah pihak dianggap konstruktif.
Selain itu, Starboard Value juga telah mengambil saham di perusahaan, mendorong Starbucks untuk mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan harga sahamnya setelah mengalami penurunan sepanjang tahun 2024.
Pertentangan dengan Serikat Pekerja di AS
Konflik dengan serikat pekerja juga mewarnai masa kepemimpinan Narasimhan. Starbucks telah mengalami ketegangan dengan serikat pekerja Workers United, yang mewakili staf di lebih dari 470 toko di AS.
Ketegangan ini mencakup tuduhan perlakuan hipokrit terhadap pekerja LGBTQIA+ dan perselisihan terkait dekorasi Pride di beberapa toko. Starbucks dikritik karena dianggap menanggalkan bendera Pride, meskipun perusahaan menyatakan tidak ada perubahan dalam kebijakan mereka mengenai perayaan Bulan Pride.
Perselisihan ini semakin memanas ketika serikat pekerja dan Starbucks saling menggugat setelah serikat pekerja menggunakan nama dan logo perusahaan dalam pos media sosial yang menyatakan solidaritas dengan Palestina.
Baca Juga: Starbucks Tunjuk CEO Resto Cepat Saji Chipotle, Brian Niccol jadi CEO Baru
Pendapat Mantan CEO Howard Schultz
Howard Schultz, mantan CEO yang memimpin Starbucks selama lebih dari 23 tahun, tidak ragu untuk menyuarakan pandangannya tentang manajemen perusahaan saat ini.
Dalam sebuah posting LinkedIn pada bulan Mei, Schultz menyatakan bahwa Starbucks perlu fokus pada pengalaman pelanggan dan memperbaiki toko serta aplikasi mobile mereka untuk membalikkan jatuhnya reputasi perusahaan.
Schultz juga menekankan perlunya perombakan strategi dan penguatan posisi premium Starbucks. Dalam surat sebelumnya kepada manajemen perusahaan, Schultz mengingatkan pentingnya kembali pada nilai-nilai inti dan menemukan kembali jiwa Starbucks.
Dalam rilis pers Starbucks terkait perubahan kepemimpinan, Schultz tidak menyebutkan masa kepemimpinan Narasimhan. Sebaliknya, Schultz menyanjung Brian Niccol sebagai pemimpin yang diperlukan Starbucks pada momen krusial dalam sejarah perusahaan.