wmhg.org – WASHINGTON. Pemerintahan Biden baru-baru ini memutuskan untuk mencabut larangan penjualan senjata militer ke Arab Saudi, sebuah kebijakan yang telah diberlakukan selama tiga tahun.
Langkah ini menandai perubahan besar dalam pendekatan Amerika Serikat terhadap konflik di Timur Tengah, khususnya terkait perang di Yaman dan hubungan yang semakin erat antara AS dan Arab Saudi. Keputusan ini memiliki implikasi yang luas, baik dari segi politik, militer, maupun hak asasi manusia.
Konflik Yaman dan Peran Arab Saudi
Perang di Yaman telah berlangsung sejak tahun 2014, ketika kelompok Houthi yang didukung oleh Iran menggulingkan pemerintahan yang didukung oleh Arab Saudi dari Sanaa.
Sejak saat itu, koalisi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi telah terlibat dalam konflik yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan menyebabkan 80% dari populasi Yaman bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Arab Saudi, yang memainkan peran sentral dalam konflik ini, telah lama menjadi pembeli utama senjata dari Amerika Serikat.
Namun, kebijakan AS terhadap penjualan senjata militer ke Arab Saudi berubah pada tahun 2021, ketika Presiden Biden mengadopsi sikap yang lebih tegas, sebagian besar disebabkan oleh tingginya korban sipil yang diakibatkan oleh kampanye militer Saudi di Yaman.
Mencabut Larangan Penjualan Senjata
Pada tanggal 9 Agustus 2024, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa mereka mencabut larangan penjualan senjata militer tertentu kepada Arab Saudi. Langkah ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk memperbaiki hubungan antara kedua negara dan memperkuat aliansi strategis di kawasan Timur Tengah yang sedang bergolak.
Seorang pejabat tinggi dari Departemen Luar Negeri menyatakan bahwa keputusan ini diambil setelah Arab Saudi menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi dampak negatif dari kampanye militernya, termasuk peningkatan proses mitigasi kerusakan sipil yang sebagian besar disebabkan oleh pelatihan dan bantuan dari Amerika Serikat.
Implikasi Strategis dan Geopolitik
Keputusan untuk melanjutkan penjualan senjata militer ke Arab Saudi dapat dilihat sebagai bagian dari upaya AS untuk menavigasi kompleksitas politik di Timur Tengah, terutama dalam konteks ketegangan yang meningkat antara Iran dan sekutu-sekutunya, seperti kelompok Hezbollah di Lebanon dan Houthi di Yaman.
Selain itu, keputusan ini juga muncul di tengah upaya AS untuk menegosiasikan perjanjian pertahanan dan kerjasama nuklir sipil dengan Riyadh, yang merupakan bagian dari rencana yang lebih luas untuk menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel.
Meskipun tujuan ini masih belum tercapai, keputusan untuk mencabut larangan penjualan senjata ini menunjukkan bahwa AS berusaha keras untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan dengan Arab Saudi di tengah situasi regional yang tidak stabil.
Baca Juga: Israel Setuju Melanjutkan Perundingan Gencatan Senjata di Gaza Minggu Depan
Kontroversi dan Tantangan Hak Asasi Manusia
Meskipun keputusan ini disambut baik oleh beberapa pihak sebagai langkah pragmatis untuk menjaga stabilitas regional, ada pula kekhawatiran yang mendalam mengenai dampak kebijakan ini terhadap hak asasi manusia.
Arab Saudi telah lama dikritik karena catatan buruknya dalam hal hak asasi manusia, terutama terkait dengan kampanye militernya di Yaman yang telah menyebabkan banyak korban sipil.
Beberapa anggota Kongres AS, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, telah menyuarakan keprihatinan mereka mengenai penjualan senjata militer ke Arab Saudi.
Mereka menekankan perlunya pengawasan ketat untuk memastikan bahwa senjata yang dijual tidak digunakan untuk menargetkan warga sipil atau melanggar hukum internasional.