wmhg.org – JAKARTA. Pada hari Senin, Presiden AS Joe Biden memveto RUU yang bertujuan untuk menambah 66 hakim baru di pengadilan federal yang kekurangan staf secara nasional.
RUU ini semula didukung oleh banyak anggota dari kedua partai, dan akan menjadi ekspansi terbesar pertama bagi kekuasaan peradilan federal sejak tahun 1990.
RUU JUDGES Act dan Tujuannya
RUU JUDGES Act, yang awalnya mendapat dukungan dari banyak anggota kedua partai, bertujuan untuk menambah jumlah hakim di 25 pengadilan distrik federal di 13 negara bagian, termasuk California, Florida, dan Texas.
Penambahan ini direncanakan dilakukan dalam enam gelombang setiap dua tahun hingga tahun 2035.
Sejumlah besar hakim yang dilantik oleh presiden dari kedua partai bahkan mengambil langkah langka dengan secara terbuka mendukung RUU ini, dengan alasan bahwa beban kasus di pengadilan federal telah meningkat lebih dari 30% sejak Kongres terakhir kali mengesahkan legislasi untuk memperluas sistem peradilan federal secara menyeluruh.
Tanggapan Veto Presiden Biden
Namun, Presiden Biden yang menjabat pada saat itu menepati ancaman vetonya yang dikeluarkan dua hari sebelum RUU ini disahkan oleh DPR yang dipimpin oleh Partai Republik pada tanggal 12 Desember dengan suara 236-173.
Dalam pesannya kepada Senat yang secara resmi menolak RUU tersebut, Biden menyatakan bahwa RUU tersebut terburu-buru menciptakan posisi hakim baru tanpa menjawab pertanyaan penting mengenai apakah hakim baru tersebut benar-benar dibutuhkan dan bagaimana mereka akan dialokasikan secara nasional.
Kritikan dari Senator Partai Republik
Senator Partai Republik Todd Young dari Indiana, yang menjadi sponsor RUU tersebut di Senat, menanggapi veto tersebut dengan mengatakan bahwa keputusan Biden adalah politik partisan yang terburuk.
Para sponsor RUU ini berharap dengan menyebarkan penambahan posisi hakim baru selama tiga masa jabatan presiden, mereka dapat menghindari kekhawatiran lama dari para legislator tentang penciptaan lowongan baru yang dapat diisi oleh presiden dari partai oposisi.
Dukungan dan Penundaan Proses Legislasi
RUU ini disetujui secara bulat oleh Senat yang dipimpin oleh Partai Demokrat pada bulan Agustus.
Namun, RUU tersebut terhambat di DPR yang dipimpin oleh Partai Republik dan baru dibahas untuk pemungutan suara setelah pemilihan Presiden AS pada 5 November yang dimenangkan oleh Donald Trump, yang memperoleh kesempatan untuk menunjuk gelombang pertama hakim-hakim baru.
Langkah ini memicu tuduhan dari sejumlah anggota Partai Demokrat di DPR yang mulai mundur dari dukungan mereka terhadap RUU ini.
Mereka menuduh rekan-rekan mereka dari Partai Republik telah melanggar janji utama dari legislasi tersebut dengan menyetujui RUU tersebut ketika tidak ada yang tahu siapa yang akan menunjuk hakim-hakim dalam gelombang pertama.
Dampak Jika RUU Dijalankan
Jika RUU ini diterapkan, Trump akan dapat mengisi 22 posisi hakim permanen dan tiga posisi hakim sementara selama empat tahun masa jabatannya, di samping lebih dari 100 penunjukan hakim lainnya yang sudah diperkirakan akan dilakukannya.
Penunjukan-penunjukan ini akan memungkinkan Trump untuk semakin memperkuat pengaruhnya terhadap sistem peradilan federal. Selama masa jabatannya, Trump telah melantik 234 hakim, termasuk tiga anggota Mahkamah Agung AS yang membentuk mayoritas konservatif 6-3.
Presiden Biden, pada hari Jumat, telah melampaui total penunjukan hakim Trump dengan 235 penunjukan, meskipun Biden lebih sedikit menunjuk hakim pengadilan banding dan hanya satu hakim Mahkamah Agung AS selama masa jabatannya.