wmhg.org – Laporan bahwa Korea Utara mengerahkan pasukan untuk mendukung invasi Moskow ke Ukraina menyoroti keterbatasan tenaga kerja yang parah yang membebani ekonomi dan militer Rusia.
Badan mata-mata Korea Selatan memperingatkan tentang ancaman keamanan yang serius. Yakni, Korea Utara telah mulai mengirim pasukan untuk bertempur dengan Rusia di Ukraina.
Mengutip BBC, tuduhan itu muncul sehari setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan dia yakin 10.000 tentara Korea Utara dapat bergabung dalam perang, berdasarkan informasi intelijen.
Menurut badan mata-mata itu, 1.500 tentara telah tiba di Rusia. Sementara, sumber anonim mengatakan kepada media Korea Selatan, angka akhir pengiriman tantara Korea Utara ke Rusia bisa mendekati 12.000.
Ini muncul saat bukti semakin banyak bahwa Korea Utara memasok amunisi kepada Rusia, seperti yang baru-baru ini ditunjukkan oleh pemulihan rudal di wilayah Poltava Ukraina.
Sementara, melansir Fortune, dinas intelijen Korea Selatan mengatakan bahwa mereka bekerja sama dengan mitra Ukraina dalam penggunaan teknologi pengenalan wajah AI untuk mengidentifikasi perwira Korea Utara di wilayah Donetsk, Ukraina, yang membantu pasukan Rusia menembakkan artileri Korea Utara.
Kerja sama militer langsung antara Rusia dan Korea Utara yang telah dilaporkan oleh media asing kini telah dikonfirmasi secara resmi, kata badan mata-mata itu dalam sebuah pernyataan, menurut Reuters.
Moskow dan Pyongyang telah membantah adanya pertukaran pasukan.
Namun, para analis semakin menyoroti kelemahan mendasar ekonomi Rusia, yang tampak lebih kuat karena pengeluaran pertahanan yang sangat besar. Analis juga memperkirakan bahwa Rusia akan kesulitan untuk mempertahankan perangnya di Ukraina.
Selain sanksi Barat yang sebagian besar telah menutup Moskow dari sistem keuangan global, Rusia telah mengalami pengurasan besar-besaran sumber daya manusia (SDM) yang melarikan diri dari negara itu serta ratusan ribu korban perang.
Hal itu menyebabkan ketatnya pasar tenaga kerja dan inflasi tinggi karena industri pertahanan dan mobilisasi militer menempati porsi yang lebih besar dari populasi usia kerja—yang menjadi kendala dalam kemampuan Presiden Vladimir Putin untuk mengumpulkan lebih banyak pasukan untuk perangnya.
Dalam opini yang dimuat di The Hill pada hari Senin, profesor ilmu politik Universitas Rutgers-Newark Alexander J. Motyl meramalkan ekonomi Rusia akan mengalami kehancuran tahun depan.
Ketika ekonomi Rusia merosot, kemiskinan dan ketidakpuasan sosial meningkat, dan uang mengering, Putin akan kehabisan sumber daya untuk menggerakkan mesin perangnya, tulisnya.
Motyl menambahkan, kondisi itu bisa berarti berakhirnya rezim Putin dan bahkan mungkin negara Rusia.
Dia juga menunjuk contoh lain dalam sejarah negara-negara yang tidak memiliki cukup sumber daya ekonomi untuk terus berperang.
Keruntuhan ekonomi akan melemahkan upaya militer dan perang Rusia, katanya, sehingga Putin hanya punya dua pilihan.
Yang pertama tidak mungkin karena itu akan mengharuskan Putin meminta masyarakat yang lebih luas untuk berkorban lebih banyak.
Yang kedua adalah mendorong pasukannya melewati titik kelelahan dengan harapan akan ada keajaiban yang terjadi.
Tonton: Vladimir Putin Bakal Bertemu Presiden Iran untuk Bahas Krisis Timur Tengah
Akan tetapi itu hanya akan menunda kekalahannya dan kemungkinan penggulingannya sebagai pemimpin.
Serupa dengan itu, Stefan Hedlund, seorang profesor studi Rusia di Universitas Uppsala, menulis sebuah analisis untuk Geopolitical Intelligence Services pada hari Senin yang juga menunjukkan distorsi dalam ekonomi yang disebabkan oleh perang dan pengeluaran pertahanan.