wmhg.org – BEIRUT/JERUSALEM. Hezbollah, kelompok militan Syiah Lebanon yang juga berperan sebagai partai politik, telah lama menjadi ancaman strategis bagi Israel. Dalam konflik terbaru, kemampuan bertahan kelompok ini menghadapi serangan udara Israel yang intens telah menarik perhatian dunia.
Hezbollah dikenal karena struktur organisasinya yang terdesentralisasi dan fleksibel, yang memungkinkan kelompok ini untuk terus berfungsi meskipun beberapa pemimpin utamanya terbunuh dalam serangan udara Israel.
Ketika komandan pasukan elit Radwan, Ibrahim Aqil, tewas pada serangan Jumat lalu, Hezbollah dengan cepat menunjuk penggantinya. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok tersebut telah mengantisipasi kerugian personel penting dan memiliki mekanisme untuk mempertahankan operasinya.
Struktur organisasi ini memberikan Hezbollah kemampuan untuk beroperasi dalam unit-unit kecil yang dapat bertahan secara mandiri di garis depan. Hal ini kembali terlihat dalam perang 2006, di mana para pejuang Hezbollah mampu bertahan selama berminggu-minggu di desa-desa garis depan meskipun wilayah tersebut telah diserbu oleh Israel.
Infrastruktur Bawah Tanah dan Persenjataan Berat
Hezbollah telah mengembangkan jaringan terowongan bawah tanah yang luas untuk menyembunyikan persenjataan berat, termasuk roket dan rudal balistik jarak jauh.
Jaringan ini, yang diperluas sejak perang 2006 dengan bantuan Iran dan Korea Utara, memberikan keuntungan taktis bagi Hezbollah dalam menghadapi serangan udara Israel. Dalam beberapa kasus, roket diluncurkan dari wilayah yang baru saja dihantam oleh serangan Israel, yang menunjukkan efektivitas penyimpanan senjata bawah tanah ini.
Senjata paling kuat yang dimiliki Hezbollah termasuk rudal Fateh-110 buatan Iran, yang mampu membawa hulu ledak seberat 450-500 kilogram dengan jarak tembak hingga 300 kilometer. Meski demikian, hingga saat ini, belum ada konfirmasi bahwa Hezbollah telah menggunakan senjata-senjata paling berbahayanya dalam konflik ini.
Namun, meski mengalami kerugian besar, Hezbollah tetap bertahan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik yang sedang berlangsung dapat berubah menjadi perang berkepanjangan, terutama jika Israel melancarkan serangan darat di Lebanon selatan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menyatakan keinginan untuk mencapai kesepakatan damai yang akan membuat Hezbollah mundur dari perbatasan, tetapi tidak menutup kemungkinan operasi militer lanjutan jika negosiasi gagal.