wmhg.org – JAKARTA. Pada dini hari 6 Agustus, Ukraina melancarkan invasi terbesar ke Rusia sejak Perang Dunia II dengan menyerang wilayah barat Rusia.
Tanpa tanda-tanda dari Moskow bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi, Kementerian Pertahanan Rusia bahkan mempublikasikan kabar baik tengah malam sebelumnya, bahwa lebih dari 2.500 tentara yang merebut kota di Ukraina Timur akan menerima penghargaan negara atas keberanian mereka.
Namun, pada pagi harinya, ketika serangan besar dimulai, Kementerian Pertahanan Rusia merilis video kunjungan Jenderal Valery Gerasimov ke zona pertempuran di Ukraina, tanpa menunjukkan kekhawatiran tentang situasi yang berkembang di wilayah Kursk, Rusia.
Meskipun gerakan militer ini mengejutkan banyak pihak, dan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan Rusia serta kekuatan pertahanan perbatasannya, serangan itu menyebabkan kepanikan di kalangan penduduk setempat.
Serangan ini juga menunjukkan kegagalan intelijen Rusia, menurut ahli militer Prancis Yohann Michel, yang menyatakan bahwa Rusia mungkin menganggap Ukraina tidak akan melakukan serangan berisiko tinggi seperti itu, terutama dengan pasukan Ukraina yang sedang mundur di garis depan timur.
Namun, tujuan Ukraina di Kursk tampaknya adalah untuk mengalihkan perhatian pasukan Rusia dari garis depan di wilayah Donetsk.
Pemerintah Rusia baru mengakui serangan ini setelah hampir 12 jam berlangsung. Gubernur wilayah Kursk yang baru, Alexei Smirnov, mencoba mengisi kekosongan informasi dengan memperingatkan penduduk melalui Telegram.
Sementara itu, tanggapan resmi dari Kementerian Pertahanan Rusia dan Kremlin terlambat, dengan laporan pertama dari otoritas pusat baru muncul sekitar pukul 11 siang waktu setempat.
Serangan ini juga memicu eksodus massal penduduk dari kota Sudzha. Meskipun Smirnov berulang kali menegaskan bahwa situasi terkendali, kenyataannya, situasi di perbatasan tetap sulit, dengan pertempuran yang masih berlangsung.
Hingga kini, lebih dari 100.000 orang telah mengungsi dari wilayah Kursk, dengan Ukraina mengklaim telah menguasai lebih dari 1.000 km persegi wilayah tersebut.