wmhg.org – HONG KONG. China telah menyusun rancangan undang-undang (RUU) baru yang akan mempermudah pasangan untuk mendaftarkan pernikahan mereka, sementara pengajuan perceraian akan menjadi lebih sulit.
Kebijakan ini pun langsung menuai kritik dari netizen dan menjadi topik terpopuler di media sosial pada hari Kamis (15/8).
RUU ini, yang bertujuan untuk membangun masyarakat ramah keluarga, dirilis oleh Kementerian Urusan Sipil China minggu ini untuk mendapatkan masukan dari publik.
Masyarakat dapat mengirimkan komentar mereka kepada kementerian hingga 11 September, menurut pernyataan tersebut.
Langkah ini muncul di tengah perjuangan para pembuat kebijakan untuk mendorong pasangan muda agar menikah dan memiliki anak setelah populasi negara tersebut menurun selama dua tahun berturut-turut.
Undang-undang yang diusulkan menghapus pembatasan regional untuk pernikahan yang ada dalam undang-undang sebelumnya, di mana pernikahan harus diurus di lokasi pendaftaran rumah tangga pasangan.
Proses perceraian akan tunduk pada masa tenggang 30 hari di mana, jika salah satu pihak tidak bersedia untuk bercerai, mereka dapat menarik aplikasi dan menghentikan proses pendaftaran perceraian, menurut rancangan tersebut.
Menikah itu mudah, tapi bercerai sulit. Aturan bodoh apa ini, tulis seorang netizen di platform media sosial China, Weibo, yang menarik puluhan ribu likes.
Regulasi ini bertujuan untuk mempromosikan pentingnya pernikahan dan keluarga, mengurangi perceraian impulsif, menjaga stabilitas sosial, dan melindungi hak-hak yang sah dari pihak-pihak yang terlibat, ujar Jiang Quanbao, seorang profesor di Institut Studi Populasi dan Pembangunan di Universitas Xi'an Jiaotong, kepada media yang didukung negara, Global Times.
Jumlah pasangan China yang menikah pada paruh pertama tahun ini turun sebanyak 498.000 dari tahun sebelumnya menjadi 3,43 juta, angka terendah sejak 2013, menurut data resmi, karena semakin banyak anak muda yang menunda pernikahan.
Pernikahan biasanya dianggap sebagai prasyarat untuk memiliki anak karena kebijakan yang meluas, termasuk kebijakan yang mengharuskan orang tua untuk menunjukkan sertifikat pernikahan untuk mendaftarkan bayi dan menerima tunjangan.
Banyak anak muda China memilih untuk tetap lajang atau menunda pernikahan karena kekhawatiran tentang keamanan pekerjaan dan prospek masa depan mereka seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.