wmhg.org – JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Badan Standardisasi Instrumen LHK (BSILHK) telah menyiapkan standar penghitungan pengurangan emisi dari pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Kepala BSILHK Ary Sudijanto mengatakan, penyediaan standar dan instrumen penghitungan penurunan ataupun penyerapan emisi menggunakan pendekatan perbedaan cadangan karbon.
Beberapa tahapan penghitungan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam standar ini antara lain kelayakan program pembangunan hutan tanaman industry, inventarisasi gas rumah kaca (GRK) dan analisis kategori kunci.
Kemudian, penetapan baseline emisi, penghitungan potensi serapan karbon dari aksi mitigasi, penghitungan pengurangan emisi dari aksi mitigasi, penghitungan uncertainty, penilaian risiko dan buffer.
“Selain sebagai panduan para stakeholder, melalui penerapan standar ini, diharapkan para pemegang izin HTI melaksanakan sesuai dengan regulasi nasional dan internasional, untuk mendapatkan sertifikasi dan akses ke pasar karbon,” ujar Ary dalam keterangan tertulisnya, Minggu (11/8).
Lebih lanjut Ary menyampaikan bahwa dalam perkembangannya, pembangunan HTI, tidak hanya ditujukan untuk memenuhi permintaan kayu bulat untuk industri perkayuan. Namun juga untuk memenuhi Long-Term Strategy for Low Carbon Scenario Compatible with Paris Agreement (LTS-LCCP) dan skenario pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC).
Ia menyebut bahwa target pembangunan hutan tanaman di Indonesia pada tahun 2030 adalah seluas 11,22 juta hektar (SOIFO, 2022). Hal ini akan mendukung pencapaian target ‘Indonesia’s FOLU Net Sink 2030’. Serta pelaksanaan mandat Presiden Joko Widodo melalui Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
“Oleh karena itu, integrasi pembangunan hutan tanaman ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim menjadi peluang yang strategis untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi,” ucap Ary.
Terkait dengan dua potensi HTI sebagai sumber emisi GRK dan sebagai sumber serapan emisi GRK, menurut Ary, strategi yang harus dilakukan adalah mengurangi emisinya dan meningkatkan serapannya.
Dengan pendekatan UU Cipta Kerja bahwa Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui multiusaha, maka kedua potensi tadi seharusnya menjadi salah satu strategi PBPH untuk melaksanakannya.
Termasuk sumber revenue bagi PBPH tidak hanya kayu saja dengan luasan konsesi yang dimiliki, tetapi ada juga potensi lainnya seperti Nilai Ekonomi Karbon.
Selain meningkatkan serapan, Ary menyarankan agar mengambil strategi untuk meningkatkan integritas dari karbon, yang akan menjadi acuan atau dasar penetapan nilai karbonnya.
Semakin tinggi tata kelola maka nilai karbonnya semakin tinggi, maka hutan tanaman yang sebelumnya revenue hanya dari produk kayu, maka sekarang dapat dari yang lain termasuk HHBK, ekowisata, dan karbon, terang Ary.